2.1 Diri yang Berkembang
Dalam pertumbuhan
kognitif yang terjadi pada masa anak-anak pertengahan memampukan anak
mengembangkan konsep diri yang lebih kompleks dan tumbuh dalam pemahaman
emosional dan kotrol.
A.
Representational System: Pandangan Neo-Piagetian
Pada masa kanak-kanak
pertengahan (sekitar 7-8 tahun) penilaian tentang diri menjadi lebih realistis,
berimbang, komprehensif dan lebih terekspresi secara sadar (Harter,1996,1998).
Pada saat ini anak masuk dalam tahap perkembangan kognitif ketiga yaitu sistem
representasional. Representational
System yaitu tahap ketiga dalam istilah Neo-Piagetian perkembangan definisi diri
dicirikan dengan keluasan, keseimbangan, serta integrasi dan penilaian berbagai
aspek diri.
Dalam sebuah contoh
diberitahukan bahwa seorang anak mengidentifikasi dirinya bahwa ia pintar dalam
pelajaran kesenian, sementara “bodoh” dalam pelajaran algoritma. Deskripsi anak
tersebut menunjukkan bahwa dia dapat fokus pada satu dimensi dari dirinya
sendiri.
B.
Harga Diri
Merujuk pada Erikson(1982), faktor
penentu harga diri adalah pandangan anak akan kemampuan kerja poduktif. Persoalan yang diselesaikan pada masa kanak kanak
tengah adalah industry vs inferiority.
Pada tahap ini keterampilan produktif diperlukan atau mereka akan menghadapi
perasaan rendah diri.
Pandangan berbeda
tentang harga diri bersumber dari riset Susan Harter. Harter (1955a) meminta anak usia
8-12 tahun menilai penampilan, perilaku, prestasi dan penerimaan mereka oleh
orang lain.
Kontribusi utama harga
diri yaitu dukungan sosial--pertama-tama dari orang tua dan teman sekelas,
kemudian dari teman dan guru. Sebagai contoh, Judey menganggap olahraga adalah
sesuatu yang penting meskipun dia bukan atletik, dia akan kehilangna harga
diri, tidak peduli berapa banyak pujian yang ia terima.
Anak yang menarik diri
dari sosial, memiliki kecenderungan lebih besar pada perhatian mereka dalam
situasi sosial. Anak dengan harga diri yang lebih tinggi cenderung menisbahkan
kegagalan pada faktor di luar diri mereka.
C. Pertumbuhan Emosional
Ketika usia
bertambah,mereka lebih peka terhadap perasaan sendiri dan orang lain. Pada usia
7-8 tahun rasa bangga dan rasa malu tegantung pada kesadaran mereka akan
implikasi tindakan. Umumnya
ungkapan emosional pada masa kanak-kanak merupakan ungkapan yang menyenangkan.
Anak tertawa genik atau tertawa terbahak-bahak, menggeliat-menggeliat,
mengejangkan tubuh atau berguling di lantai dan pada umumnya menunjukkan pelepasan
dorongan yang tertahan. Tidak semua emosi pada usia ini menyenangkan. Banyak
ledakan amarah terjadi dan anak menderita kekhawatiran dan perasaan kecewa.
Anak perempuan sering mencurahkan air mata atau mengungkapkan amarah seperti
perilaku pada masa prasekolah; anak laki-laki lebih banyak mengungkapkan
kekesalan atau kekhawatirannya dengan cemberut dan merajukk.Ketika
si anak mendekati masa remaja awal, intoleransi orang tua terhadap emosi
negatif dapat mempertinggi konfliks orang tua dan anak. (Eisenberg, Fabes et
al., 1999)
Dengan
mengekang ungkapan emosi eksternal anak menjadi gelisah, tegan dan mudah
tersinggung oleh masalah yang sangat kecil sekalipun. Anak dikatakan sedang
mengalami suasana hati yang buruk. Karena keadaan emosi yang tidak tersalurkan
sering kali anak dengan cara coba-coba meredakan keadaan ini dengan sibuk
bermain, dengan tertawa terbahak-bahak bahkan dengan menangis. Cara meredakan
emosi yang tidak tersalurkan ini ditemukan, yang disebut katarsis emosional. Dengan demikian, sebelum masa kanak-kanak
berakhir sebagaian besar anak telah menemukan katarsis emosional yang memenuhi kebutuhan mereka dan membantu
mereka mengatasi pengendalian emosi seperti yang diharapkan oleh kelompok
sosial.
D. Perubahan
Kepribadian
Dengan
meluasnya cakrawala sosial pada saat anak masuk sekolah, faktor-faktor baru
mulai mempengaruhi perkembangan kepribadiannya. Akibatnya, anak harus sering
kali memperbaiki konsep diri. Karena sampai sekarang anak memandang dirinya
sendiri hampir sepenuhnya melalui pandangan orang tua tidaklah mengherankan
kalau konsep diri anak berat sebelah. Sekarang anak melihat dirinya seperti
pandangan guru, teman sekelas dan para tetangga terhadap dirinya. Bahkan orang
tua sekarang memberikan reaksi yang berbeda dan reaksi itu membantu anak
memecahkan dasar konsep dirinya.
·
Faktor-faktor
yang mempengaruhi konsep diri
Banyak faktor yang
mempengaruhi konsep diri :
1.
Hubungan
keluarga.
2.
Lingkungan
sosial.
3.
Posisi anak
dalam keluarga ( anak tunggal, anak sulung, anak bungsu ).
4.
Pengaruh kelompok
minoritas.
Faktor
diatas secara langsung dan tidak langsung berhubungan dengan kondisi lingkungan
yang baru, sehingga banyak faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi konsep
diri anak tersebut.
2.2 Anak dalam
Keluarga
Anak-anak usia sekolah menghabiskan
lebih banyak waktu mereka jauh dari rumah dibandingkan ketika mereka lebih muda
dan menjadi kurang dekat dengan pasangan orang tua. Dengan makin banyaknya
orang tua yang sama-sama mencari nafkah, keluarga berorang tua tunggal,
penekanan yang lebih besar kepada pendidikan, kehidupan keluarga yang semakin
sempit, telah membuat anak-anak menghabiskan lebih banyak waktu mereka di
sekolah atau dalam penitipan anak, dan dalam aktifitas terorganisir ketimbang
satu generasi sebelumnya. Mereka memiliki lebih sedikit waktu luang untuk
permainan bebas, aktivitas luar ruang, dan makan malam keluarga yang
menyenangkan. Banyak waktu yang dihabiskan bersama oleh orang tua-anak
berorientasi tugas seperti berbelanja, mempersiapkan makan, membersihkan rumah,
dan melakukan pekerjaan rumah. Akan tetapi, rumah dan orang-orang yang tinggal
di dalamnya tetap menjadi bagian penting dari kehidupan anak.
Unutk
memahami anak dalam keluarga kita harus melihat lingkungan keluarga
tersebut – atmosfer dan struktur, atau komposisinya. Pada gilirannya hal ini dipengaruhi oleh apa yang
terjadi di belakang tembok rumah. Sebagaimana yang di deskirpsikan oleh teori
bioekologis Bronfenbrenner, lapisan pengaruh tambahan – termasuk pekerjaan
orang tua dan status sosioekonomik serta tren sosial seperti urbanisasi,
perubahan dalam ukuran keluarga, perceraian dan perkawinan kembali – membatu
membentuk lingkungan rumah dan setelah itu, perkembangan anak.
Dibalik berbagai pengaruh ini adalah
pengalaman dan nilai cultural yang memengaruhi kehidupan dan peran anggota
keluarga. Tradisi ini mencakup hidup berdampingan atau bersama anak keluarga,
seringnya kontak dengan saudara, perasaan yang kuat akan kewajiban keluarga,
kesediaan untuk menampung saudara ke dalam rumah tangga, dan sistem bantuan mutual.
Tujuan penting pengasuhan mencakup mengajari anak bagaimana menghadapi
diskriminasi rasialisme dan mengikis kebanggaan etnis.
A. Atmosfer
Keluarga
Pengaruh
paling penting lingkungan keluarga terhadap perkembangan anak berasal dari
atmosfer yang ada dalam keluarga tersebut. Apakah atmosfer di dalamnya saling
mendukung dan menyayangi, atau dipenuhi konflik? Apakah keluarga tersebut
memiliki uang yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar? Sering kali dua sisi
atmosfer keluarga ini saling berkaitan satu dengan yang lain.
Selama masa kanak-kanak, control
prilaku secara bertahap bera;ih dari orangtua ke anak. Masa kanak-kanak tengah
membawa tahap transisional dan coregulation, di mana orangtua dan anak membagi
kekuasaan. Orangtua memakai pengawasan, tetapi anak menikmati pengaturan diri
dari waktu ke waktu (Maccoby, 1984).Peralihan ke coregulation memengauhi cara
orangtua menengani disiplin(Maccoby, 1984; Roberts, Block, dan Block, 1984).
Orang tua anak-anak usia sekolah lebih cenderung menggunakan teknik induktif.
Cara orang tua dan anak menyelesaikan konflik mungkin lebih penting daripada
hasil yang spesifik, jika konstruktif, maka konflik keluarga bisa membantu anak
melihat kebutuhan akan aturan dan standart. Mereka juga mempelajari bentuk
persoalan yang pantas diperdebatkan dan strategi apa yang efektif (A. R.
Eisenberg, 1996).
1.
Isu
Pengasuhan: Koregulasi dan Disiplin
Ketika hidup seorang anak berubah,
begitu pula berbagai isu antara dirinya dan orang tuanya, dan cara berbagai isu
tersebut dipecahkan. Pada masa kanak-kanak, control perilaku bergeser secara
gradual dari orang tua ke anak.
Masa kanak-kanak pertengahan adalah
tahap transisional koregulasi, dimana orang tua dan anak berbagi kekuasaan:
orang tua mengawasi, akan tetapi si anak yang melaksanakan momen demi momen
regulasi diri. Anak-anak lebih bersedia mengikuti keinginan orang tua apabila
mereka menyadari bahwa orang tuanya adil dan memerhatikan kesejahteraan anak
dan mereka(orang tua) mungkin mengetahui lebih baik karena pengalaman. Juga
akan membantu apabila orang tua mencoba untuk mengikuti penilaian matang si
anak dan hanya mengambil posisi tegas pada isu-isu penting.
Cara orang tua dan anak
menyelesaikan konflik mungkin lebih penting ketimbang hasilnya, apabila konflik
keluarga bersifat konstruktif, maka hal tersebut dapat membantu anak melihat
kebutuhan teradap peraturan dan standar perilaku. Mereka juga belajar isu apa
yang layak untuk diperdebatkan dan strategi apa yang dapat menjadi efektif.
Ketika anak mulai memasuki
praremaja, dan keras, kualitas pemecahan masalah dan negosiasi keluarga menjadi
memburuk. Antara usia 9 dan 11 tahun, partisipasi anak menjadi lebih negative,
terutama pada topic diskusi yang dipilih oleh orang tua. Hal tersebut
menjadikan topic yang dibahas bukan merupakan sesuatu yang penting, isu
mendasarnya justru “siapa yang bertangung jawab”.
Pergeseran ke arah koregulasi
memengaruhi cara orang tua menegakkan disiplin. Orang tua anak usia sekolah
lebih cenderung menggunakan teknik induktif yang mengandung penalaran. Sebagai
contoh, ayah Jared, 8 tahun, menunjukkan bagaimana tindakannya memengaruhi
orang lain, “memukul Jermaine menyakitinya dan membuat perasaannya buruk.
“dalam situasi lain, orang tua Jared dapat membandingkan dengan harga dirinya
sendiri (“Apa yang terjadi dengan anak baik yang ada di sana kemarin?”), humor
(“jika kamu keluar satu hari lagi sebelum mandi, maka kami akan mengetahuinya
jika kamu pulang dengan lalat mengerubungimu”), nilai moral (“anak laki-laki
yang kuat dan besar sepertimu tidak seharusnya duduk dan membiarkan orang yang
sudah berusia lanjut berdiri”), atau apresiasi (“Apakah kamu tidak senang jika
ayahmu memerhatikanmu dengan mengatakan kamu untuk mengenakan sepatu bot
sehingga kamu tidak kedinginan?”). terlepas dari semua itu, orang tua Jared
membiarkannya mengetahui konsekuensi dari perbuatannya (“Tidak perduli kamu
ketinggalan bus sekolah hari ini – kamu tidur terlalu larut tadi malam!
Sekarang kamu harus berjalan kaki ke sekolah”).
2. Efek Orangtua yang
bekerja
Pada
saat ini, 3 – 4 ibu anak usia sekolah A.S dan pada wanita Kanada berusia 25-34
tahun bekerja. Dengan lebih dari setengah ibu baru yang bekerja setahun setelah
melahirakan, banyak anak yang tidak mengetahui kapan waktunya orangtua mereka
tidak bekerja untuk mendapatkan bayaran.
Sebagian besar studi terhadap pengaruh orangtua yang
bekerja terhadap kesejahteraan anak difokuskan kepada ibu yang bekerja.
Pengaruh seorang ibu bekerja tergantung kepada banyak faktor, termasuk usia,
jenis kelamin, tempramen, dan kepribadian anak. Faktor lainnya adalah apakah
hanya ada satu orang tua dalam rumah tangga tersebut. Orang tua tunggal seperti
ibunda Marian Anderson sering kali harus bekerja. Bagaimana pekerjaannya mempengaruhi
si anak mungkin tergantung kepada seberapa banyak waktu dan energi yang dia
sisakan untuk mereka dan model peran apa yang dia hadirkan untuk meraka yang
dalam kasus Annie Anderson jelas merupakan hal yang positif.
Semakin puas seorang ibu dengan status pekerjaannya,
semakin efektif ia sebagai orang tua.
Anak usia sekolah dari ibu yang bekerja cenderung
hidup dalam rumah yang lebih terstruktur dibandingkan anak dengan ibu yang
bekerja sebagai ibu rumah tangga, dengan peran yang jelas memberikan tanggung
jawab rumah tangga yang lebih besar. Mereka juga didorong untuk menjadi lebih
independen, dan mereka memiliki sikap yang elagitarian terhadap peran gender.
Bagaimana peran orang tua dapat memengaruhi prestasi
sekolah? Baik anak laki-laki maupun perempuan dari keluarga kelas bawah
tampaknya bisa mendapatkan keunggulan akademis yang lebih banyak dari
lingkungan yang lebih baik yang disediakan oleh ibu bekerja. Walaupun demikian
, anak laki-laki dari seorang ibu yang bekerja dalam keluarga kelas menengah
cenderung berprestasi lebih rendah di sekolah dibandingkan dengan yang memiliki
ibu sebagai ibu rumah tangga. Perbedaan gender dalam keluarga kelas menengah
ini mungkin berkaitan dengan kebutuhan
lebih besar anak laki-laki terhadap bimbingan.
Sebagian anak dari ibu yang bekerja diawasi oleh ayah
mereka, kakek keluarga lain atau pengasuh anak setelah sekolah. Sebagian yang
lain pergi ke program yang lebih terstruktur, baik di sekolah maupun dalam
setting penitipan anak. Sebagaimana penitipan anak prasekolah, program pendidikan
anak pasca sekolah yang baik memiliki perserta yag relatif rendah, rasio anak
staf pengajar yang rendah, dan staf pengajar yang terdidik dengan baik.
Anak-anak, terutama anak laki-laki, dalam program lepas sekolah yang terorganisir
ditandai dengan pemogrograman fleksibel dan iklim emosional positif, cenderung
menyesuaikan diri dengan lebih baik pada tingkat pertama.
8% dari anak usia 8-10 tahun dan 23% anak usia 11 dan 12
tahun dalam sampel nasional dari 1.500 anak, biasanya merawat diri mereka
sendiri di rumah tanpa pengawasan orang dewasa. Akan tetapi, tiap anak hanya
menghabiskan satu jam sehari sendirian. Pengaturan ini hanya disarankan unutuk
anak lebih tua yang dewasa, bertanggung jawab, cerdik dan mengetahui cara meminta
pertolongan dalam kondisi darurat, dan apabila orangtua tetap berhubungan
melalui telepon.
3. Kemiskinan dan
Pengasuhan
Kemiskinan
dapat membahayakan perkembangan anak melalui pengaruhnya terhadap kondisi
emosional orang tua dan praktik pengasuhan anak dan pada lingkungan rumah yang
mereka ciptakan. Analisis ekologis Vonnie McLoyd terhadap efek dari kemiskinan
menurut jalur yang mengarah kepada kesulitan psikologis orang dewasa, yang akan
memengaruhi praktik membesarkan anak, dan akhirnya pada masalah emosional,
prilaku dan edukasional anak. Orangtua yang hidup dalam rumah kumuh, yang
kehilangan pekerjaan, yang susah cari makan, dan yang merasa tidak dapat
mengontrol kehidupan mereka cenderung menjadi menjadi cemas, tertekan, dan
gampang marah. Mereka menjadi kurang mengasihi dan kurang responsif terhadap
anak mereka. Mereka mungkin mendisiplinkan secara tidak konstan, kasar, dan
berlebihan. Mereka cenderung mengabaikan prilaku yang baik dan hanya
memerhatikan prilaku yang salah. Dampaknya sang anak akan cenderung tertekan,
kesulitan bermain bersama teman sebaya, kurang percaya diri, memiliki masalah perilaku,
dan terlibat dalam tindakan sosial. Lingkarang kemiskinan, stress keuarga, dan
masalah sosial dan emosional anak terdapat diantara keluarga kulit putih
berpenghasilan rendah dan pedesaan dan juga pada etnis minoritas di perkotaan.
Keluarga yang berada dalam kesulitan ekonomi memiliki
kecenderunagn yang lebih rendah dalam mengontrol aktifitas anak- anak mereka,
dan kurangnya monitor tersebut berkaitan dengan prestasi sekolah dan
penyesuaian sosial yang lebih buruk. Keterlibatan ayah dengan anak mereka
cenderung dikaitkan dengan kesuksesan ekonomi, ketika sang ayah merasa gagal
bertugas sebagai sumber nafkah, demoralisasinya akan mengalahkan peran keayahannya
dan memengaruhi secara negatif hubungannya dengan si anak. Karena itu, fathering sangat rentan terhadap tekanan
ekonomi dan sosial yang memengaruhi peluang pekerjaan.
Kemiskinan dapat melemahkan kepercayaan diri orang tua
dalam kemampuan mereka mempengaruhi perkembangan anak. Kekurangan sumber
keuangan juga dapat menjadikan ayah dan ibu semakin sulit mendukung pasangannya
dalam pengasuhan. Pada banyak keluarga miskin, orangtua mengerjakan beberapa
pekerjaan yang melelahkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Orang tua akan
kurang optimis dan lebih tertekan dibandingkan dengan orang tua dalam keluarga
yang lebih baik. Mereka menemukan semakin sulit bagi kedua orang tua tersebut
untuk berkomunikasi dan bekerja sama dan sering kali bertengkar dalam urusan
membesarkan anak.
Kemiskinan yang berlarut larut dapat merusak. Dianatara
534 orang anak usia sekolah di Charlottescille, Virginia, mereka yang berasal
dari keluarga yang terus menerus berada di bawah garis kemiskinan memiliki
harga diri yang lebih rendah, kurang dapat menyesuaikan diri dengan teman
sebaya, dan lebih cenderung memiliki masalah perilaku dibandingkan dengan
keluarga yang hanya sesekali mengalami masa-masa sulit atau yang sama sekali
tidak pernah mengalami kondisi tersebut.
Akan tetapi, gambaran suram ini tidak baku. Orang tua
yang dapat mengandalkan keluarga(sebagaimana yang dilakukan oleh orang tua
Marian Anderson) atau kepada perwakilan kominutas untuk dukungan emosional dan
membantu merawat anak, dan informasi yang berkaitan dengan pengasuhan anak,
sering sekali dapat mengasuh anak mereka dengan efektif. Ditambah lagi,
sebagaimana yang akan kita lihat, sebagian anak lebih mudah beradaptasi
dibandingkan yang lain, temperamen mereka memungkinkan mereka untuk menghadapi
lingkungan yang menekankan dengan lebih sukses.
B.
Struktur
Keluarga
Struktur
atau susunan, keluarga di A.S telah berubah secara dramatis. Pada generasi
lebih awal, sebagaian besar anak tumbuh dalam keluarga tradisional, yang
terdiri dari dua orang tua biologis atau adoptif heteroseksual yang menikah.
Pada saat itu, walaupun sebagian besar anak di bawah usia 18 tahun hidup tahun
hidup bersama kedua orang tuanya, akan tetapi jumlah sudah menurun secara
drastis. Ditambah lagi banyak keluarga dengan dua orang tua merupakan keluarga
gabungan, sebagai hasil dari perceraian dan perkawinan kembali. Ada pula tipe
keluarga lain dalam jumlah yang semakin meningkat seperti keluarga berorang tua
tunggal, keluarga gay dan lesbian dan keluarga yang berkomandoi oleh kakek.
Hal lain yang masih sama adalah anak-anak cenderung lebih
baik dalam keluarga tradisional dengan dua orang tua ketimbang dengan keluarga
berorang tua tunggal akibat perceraian atau keluarga tiri. Walaupun demikian,
kuncinya bukanlah struktur itu sendiri, hubungan orang tua dengan yang lain dan
kemampuan mereka untuk menciptakan atmosfer yang disukai lebih mempengaruhi
penyesuaian anak ketimbang status perkawinan.
1.
Keluarga
Adoptif
Sepanjang
sejarah, adopsi dapat ditemukan dalam semua kultur. Adopsi bukan hanya
diperuntukkan bagi orang yang mandul., individu orang yang sudah tua, pasangan
gay dan lesbian, dan orang yang telah memiliki anak biologis dapat menjadi
orang tua asuh. Adopsi terjadi melalui agensi publik atau swasta atau melalui
perjanjian independen antara orang tua kandung dengan orang tua pengadopsi.
Mengadopsi anak membawa
tantangan tersendiri. Disamping masalah pengasuhan yang biasa muncul, orang tua
adoptif harus berhadapan dengan mengadopsikan anak ke dalam keluarga,
menjelaskan pengadopsian kepada si anak, membantu anak mengembangkan perasaan
diri yang sehat, dan mungkin akhirnya membantu anak untuk berhunbungan dengan
orang tua biologisnya.
Mengacu kepada ulasan
literatur, hanya ada sedikit perbedaan dalam penyesuaian antara anak yang
diadopsi dan yang tidak. Anak yang diadopsi pada masa bayi kecenderungan lebih
kecil dalam memiliki masalah penyesuaian. Masalah yang muncul tampaknya mulai
mengemuka sekitar masa kematangan seksual.
Secara tradisional,
adopsi bersifat rahasia, dengan tidak ada kontak antara ibu kandung dan orang
tua yang mengadopsi, dan identitas ibu
kandung akan tetap dirahasiakan. Dalam beberapa tahun terakhir ini, adopsi terbuka di masa setiap pihak
berbagi informasi atau memiliki kontak langsung menjadi semakin umum dilakukan.
Berlawanan dengan apa yang dianggap oleh sebagian orang sebagai resiko adopsi terbuka. Adopsi terbuka ialah,
adopsi dimana orang tua kandung dan orang tua angkat saling mengenal identitas
dan berbagi informasi atau memiliki kontak langsung.
2. Ketika Orang Tua
Bercerai
Berbagai
hal memengaruhi penyesuaian anak terhadap perceraian meliputi kematangan usia,
gender, temperamen, dan penyesuaian psikologis dan sosial sebelum perceraian.
Cara orang tua menangani berbagai permasalahan seperti kesepakatan perwalian
dan kunjungan, keuangan, pengorganisasian kembali tugas rumah tangga, kontak
dengan orang tua yang tidak termasuk dalam perwalian, menikah kembali, dan
hubungan si anak dengan orang tua angkat juga membuat perbedaan.
Kebanyakan
anak dengan orang tua bercerai menyesuaikan diri dengan cukup baik, tetapi
perceraian menignkatkan resiko pada masa remaja atau dewasa, seperti perilaku
antisosial, kesulitan dengan figure otoritar (amato, 2003; Kelly & Emery,
2003) dan keluar dari sekolah (McLanahan & Sandefur, 1994). Menurut
beberapa penelitian, sebanyak 25% anak dengan orangtua bercerai mencapai masa
dewasa dengan masalah sosial, emosional, atau psikologis yang serius,
dibandingkan dengan 10% anak yang orang tuanya tetap berasama (Heterington
& Kelly, 2002) selain itu, perceraian dapat memiliki konsekuensi bagi
generasi yang belum lahir pada saat perceraian. Anak-anak dari “anak-anak
dengan orangtua bercerai” (cucu responden penelitian asli), pada akhirnya, 3
cenderung memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah dan lebih banyak
ketidak harmonisan pernikahan serta ikatan yang lemah dengan orangtua mereka
(Amato & Ceadle 2005).
Bagi
beberapa orang dewasa muda yang memiliki pengalaman orangtua yang bercerai,
takut membuat komitmen yang mungkin berakhir dengan kekcewaan dan bermaksud
melindungi kemandirian mereka (Gleen & Marquardt, 2001; Wallerstein &
Corbin 1999). Bahkan ketika anak-anak dengan orangtua bercerai yang sudah
dewasa tidak memiliki masalah serius, mereka bisa memiliki perasaan sedih,
khawatir, atau penyesalan yang berkepanjangan, atau bahkan rasa sakit &
stress, seringkali kurang terkendalinya hidup mereka (Kelly & Emery, 2003).
Banyak yang bergantung pada bagaimana anak muda menyelesaikan dan menafsirkan
pengalaman kepercayaan orangtua, beberapa, yang melihat kadar konflik anatara
orangtua mereka yang tinggi, mampu belajar dari contoh negative dan membentuk
hubungan sangat intim bagi diri mereka sendiri (Shulman, Scharf, Lunner, &
Maurer, 2001).
Anak yang lebih muda
lebih cemas akan perceraian, kurang memiliki persepsi yang realistis tentang
apa yang menyebabkan perceraian tersebut, dan lebih sering menyalahkan diri
mereka sendiri. Akan tetapi bisa beradaptasi lebih cepat dibandingkan dengan
anak yang lebih tua, yang memahami apa yang terjadi dengan lebih baik. Anak
usia sekolah sangat sensitive terhadap tekanan orang tua dan konflik loyalitas
, seperti anak yang lebih muda, mereka mungkin takut terhadap penolakan dan
pengacuhan. Anak laki-laki ditemukan lebih sulit menyesuaikan diri dibandingkan
anak perempuan. Walaupun demikian perbedaan ini, menjadi kurang siginifikan
dibandingkan yang pernah terpikirkan dan sangat tergantung kepada masih
seberapa jauh keterlibatan seorang ayah.
Anak-anak menyesuaikan
diri dengan lebih baik apabila orang tua yang mendapatkan hak perwalian
menciptakan lingkungan yang stabil, terstruktur, dan nurturing dan tidak mengharapkan anak untuk mengembangkan tanggung
jawab yang lebih besar dari pada sebelumnya. Merujuk kepada analisis terhadap
33 studi, anak anak yang tinggal bersama ibu yang bercerai lebih baik ketika
sang ayah membayar tunjangannya, yang mungkin dapat menjadi barometer ikatan
antara ayah dan anak dan juga berkaitan dengan berkurangnya perasaan dendam
antara kedua mantan pasangan tersebut.
Frekuensi kontak ayah-anak tidak sepenting kualitas
hubungan ayah-anak. Anak-anak yang dekat dengan ayah meraka yang tidak lagi
tinggal serumah, dan yang ayahnya menggunakan pola asuh otoritatif, cenderung
lebih baik di sekolah, dan anak yang tampaknya tidak menikmati hubungan
tersebut cenderung memiliki masalah prilaku. Anak-anak juga lebih baik secara
akademis apabila ayah mereka yang tidak lagi serumah terlibat dalam sekolah
mereka, dan apabila ibu mereka menggunakan praktik perngasuhan yang efektif
serta menghadirkan aktivitas pembentuk keterampilan dirumah.
2.3 Anak dalam Kelompok Sebaya
Dalam
masa prasekolah, anak bermain bersama, akan tetapi dalam masa sekolah kelompok
sebaya mulai terbentuk. Kelompok terbentuk secara alamiah diantara anak-anak yang berdekatan atau yang pergi
bersama ke sekolah. Jurang usia yang terlalu lebar memunculkan perbedaan ,
bukan saja dalam ukuran, tetapi juga dalam ketertarikan dan level kecakapan.
Biasanya didalam kelompok, anak laki-laki akan bergabung dengan anak laki-laki
begitu juga dengan anak perempuan. Anak-anak dari jenis kelamin yang sama
biasanya mempunyai ketertarikan yang sama, contohnya anak laki-laki ketika
berkumpul akan selalu membahas sepak bola. Apabila mereka bergabung dengan anak
perempuan, percakapan mereka akan tidak sesuai. Kelompok dengan jenis kelamin
yang sama membantu anak untuk belajar perilaku yang sesuai dengan gendernya dan
memasukkan peran gender ke dalam konsep diri mereka.
A.
Pengaruh
Positif dan Negatif Relasi Teman Sebaya
Kelompok sebaya membuka
perspektif baru dan membebaskan mereka untuk memnbuat penilaian independen
ketika mereka mulai menjauh dari pengaruh orang tua. Mereka mulai menguji nilai
yang mereka punya dengan teman sebayanya. Dengan membandingkan diri dengan anak
lain yang seusia, anak-anak dapat menilai kemampuan mereka dengan realistis dan
mendapatkan perasaan yang lebih jernih tentang kecakapan diri. Kolompok teman
sebaya membantu anak belajar bagaimana hidup bersama di masyarakat, bagaimana
menyesuaikan keinginan dan hasrat dengan yang lainnya.
Kelompok sebaya juga
memiliki efek negatif. Efek tersebut biasanya terdapat dalam pergaulan teman
sebaya yang penguntil, memulai penggunaan obat terlarang, dan bertingkah laku
anti sosial lainnya. Anak praremaja sangat rentan terhadap tekanan untuk
meniru, dan tekanan ini dapat mengubah anak menjadi seorang kriminal.
Pengaruh negatif lain
kelompok sebaya adalah keenderungan untuk menguatkan prasangka, sikap untuk
memusuhu “orang luar”, terutama anggota etnis atau ras tertentu. Pengalaman
yang sudah diperoleh oleh anak dapat mengurangi atau menghilangkan prasangka
tersebut.
B.
Popularitas
Popularitas anak mejadi
lebih tinggi pada masa kanak-kanak pertengahan. Anak pada masa ini lebih banyak
menghabiskan waktu dengan anak lainnya sehingga opini teman sebaya sangat
memengaruhi harga dirinya. Anak sekolah yang disukai oleh teman sebaya
cenderung mudah bergaul pada masa remaja. Mereka yang sulit bermain ersama
teman sebaya cenderung mengembangkan masalah psikologis, keluar dari sekolah
dan menjadi kriminal.
Anak yang populer biasanya mempunyai
nilai kognitif yang tinggi, bagus dalam memecahkan masalah, membantu anak lain,
dan menjadi asertif tanpa harus menjadi disruptoif atau agresif. Anak populer
biasanya dapat dipercaya, loyal, terbuka, dan menyajikan dukungan emosional.
Tampilan superiornya membuat teman sebayanya merasa nyaman dengannya. Walaupun
demikian, gambaran ini tak selalu benar. Beberapa anak yang agresif dan
antisosial juga termasuk anak yang populer. Hal ini menunjukkan popularitas
merupakan hal yang variatif.
Anak-anak dapat menjadi
kurang populer karena banyak hal. Ketika sebagian anak yang tidak populer
agresif, beberaopa diantara mereka hiperaktif dan inatentif dan sebagian diri
menarik diri dari pergaulan. Yang lain bertingkh memalukan dan tidak dewasa.
Mereka sering tidak sensitid pada anak lain dan tidak beradaptasi dengan baik
terhadap situasi baru. Beberapa diantara mereka menunjukkan ketertarikan untuk
berkumpul pada kelompok dari jenis kelamin berbeda. Beberapa anak yang tidak
populer telah mengira dirinya tidak disukai, dan hal ini merupakan ramalam yang
terwujud dengan sendirinya.
Pengaruh
popularitas juga diperngaruhi oleh keluarga. Orang tua otoritatif cenderung
memiliki anak yang lebih populer dibandingkan orang tua yang otoriter. Anak
dari orang tua otoriter yang menghukum dan mengancam cenderung melakukan hal
yang dilakukan oleh orang tuanya kepada teman sebaya. Tingkat kepopuleran
mereka jauh dari anak yang orang tuanya otoritatif.
C.
Persahabatan
Anak-anak menghabiskan
sebagian waktu bebasnya dalam kelompok, akan tetapi hanya sebagian individual
yang dapat membentuk persahabatan. Anak-anak mencari teman yang mirip dengan
mereka; satu usia, jenis kelamin, dan kelompok etnis serta yang memiliki
ketertarikan yang sama. Seorang teman adalah seseorang yang disayangi oleh si
anak, yang membuatnya merasa nyaman, rela untuk melakukan berbagai ham bersama,
dan yang dapat menjaga rahasia dan perasaan. Persahabatan yang paling kuat
meliputi komitmen yang sama dan give-and-take
mutual. Bahkan anak yang kurang pupuler bisa mendapatkan sahabat tetapi
memiliki sedikit teman. Berbeda dengan anak populer yang bisa mendapatkan
sahabat dan cenderung memiliki banyak teman.
Mengapa persahabatan
penting? Bersama teman, anak belajar berkomunikasi dan bekerja sama. Mereka
belajar tentang diri mereka yang lain. Mereka dapat saling membantu melewati
transisi yang menekan. Pertengkaran yang tidak disengaja dapat membantu anak
untuk menyelesaikan konflik. Persahabatan tampaknya membantu anak untuk merasa
nyaman terhadap diri mereka sendiri. Penolakan teman sebaya dan ketiadaan teman
pada masa kanak-kanak pertengahan dapat memiliki efek jangka panjang.
Konsep persahabatan
yang dimiliki anak, dan cara mereka bertingkah laku terhadap teman, berubah
seiring usia, merefleksikan pertumbuhan kognitif dan emosional mereka.
Anak-anak tidak dapat menjadi, atau mendapatkan teman dalam arti yang
sebenarnya sampai mereka mencapai kematangan kognifif untuk dapat
mempertimbangkan pandangan dan kebutuhan sendiri. Anak perempuan pada masa
kanak-kanak pertengahan lebih peduli untuk memiliki beberapa orang teman yang
dapat mereka andalkan ketimbang memiliki banyak teman. Anak laki-laki cenderung
memiliki lebih banyak persahabatan, tetapi kurang dekat dan kurang peduli.
D. Agresi dan
Mengganggu
Hostile agression
adalah perilaku yang agresif, dan bertujuan untuk menyakiti orang lain.
Menggantikan instrumental agression yaitu agresi yang bertujuan untuk
mendapatkan sebuah tujuan, yang merupakan ciri khas periode prasekolah. Overt
agression adalah kekuatan fisik atau ancaman verbal, semakin berkurang
dibandingkan relational atau sosial agression. Para agresor cenderung tidak populer
dan memiliki masalah psikologis dan sosial, walaupun belum dpat dijelaskan
penyebab masalah ini adalah agresi itu sendiri atau reaksi terhadap agresi itu
tersebut. Anak yang agresif cenderung mencari teman yang sama seperti mereka
dan saling mendorong untuk melakukan tindakan antisosial.
Agresi dan pemrosesan Informasi Sosial. salah
satu penyebab anak bertindak agresif adalah hal yang berkaitan dengan cara
mereka memproses informasi sosial seperti ciri lingkungan sosial apa yang
mereka perhatikan, dan bagaimana cara mereka menginterpretasikan apa yang
mereka rasakan.
Instrumental agressor memandang kekuatan
dan paksaan sebagai cara efektif untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Maka mereka bertindak dengan sengaja bukan karna rasa marah. Dalam terminologi
pembelajaran sosial, mereka agresif karena mereka berharap mendapatkan apa yang
mereka inginkan atas sikap mereka.
Anak-anak melihat
kekerasan dalam jumlah yang sangat besar di televisi. Lebih dari 57% anak usia 8-16 tahun Amerika Serikat memiliki
televisi di kamar tidur mereka, dan banyak diantara mereka yang menotonnya
sebelum tidur sebagai bentuk relaksasi. Anak-anak A.S dan Kanada menonton
televisi antara 12-25 jam per minggu. Di A.S sekitar 6 dari 10 siaran televisi
mengandung kekerasan, dan diantaranya menunjukkan alternatif terhadap
kekerasan. Termasuk yang ada di saluran kabel premium mempertunjukkan kekerasan
pada 85% waktu siarnya. 39% program televisi anak-anak di televisi
Inggris mengandung kekerasan, sebagai besar berupa penembakan atau penyerangan
fisik lainnya.
Riset pembelajaran
sosial menyatakan bahwa anak-anak mengimitasi contoh yang difilmkan, bahkan
lebih dari yang nyata (Bandura, Ross, & Ross, 1963). Pengaruh tersebut
menjadi bertambah kuat apabila si anak yakin bahwa kekerasan yang ada dalam
televisi tersebut nyata, mengidentifikasikan dirinya dengan karakter yang
negatif, dan menonton tanpa pengawasan dari orang tua.
Ketika anak menonton
kekerasan di televisi, mereka mungkin menyerap nilai yang di gambarkan dan
memandang agresi sebagai perilaku yang dapat diterima. Dalam 73% adegan
kekerasan, penjahat pergi tanpa dihukum; dalam 47%, korban pergi tanpa
disakiti, menjelaskan bahwa kekerasan tidak memiliki konsekuensi yang tidak
menyenangkan. Anak-anak yang melihat pahlawan dan penjahat yang mendapatkan apa
yang mereka inginkan melalui kekerasan cenderung berkesimpulan kekerasan
merupakan jalan pemecahan konflik yang efektif. Mereka menjadi kurang sensitif
terhadap rasa sakit yang disebabkan oleh kekerasan tersebut. Mereka belajar
untuk mengambil kekerasan begitu saja dan menjadi tidak peduli ketika melihat
hal tersebut terjadi. Tentu saja beberapa orang anak lebih berpengaruh, dan
lebih mudah dipengaruhi dibandingkan yang lain.
Dalam sebuah survei
terhadap 2.245 anak tingkat ketiga sampai kedelapan di 11 sekolah negeri Ohio, semakin banyak jumlah jam
menonton televisi setiap harinya, terutama bagi mereka yang lebih suka menonton
film action, akan semakin banyak simtom trauma seperti depresi, stres,
kecemasan dan kemarahan. Anak-anak dengan masalah psikologis atau perilaku
mungkin lebih banyak menonton televisi dibandingkan anak yang tidak memiliki
masalah seperti itu. Dan diet televisi yang ketat bisa jadi hanya akan semakin
memperburuk permasalahan tersebut. Karena itu, berlebihan menonton televisi
dapat mengindikasikan adanya masalah yang mungkin membutuhkan perawatan.
Pengaruh jangka panjang
kekerasan di televisi lebih besar pada masa kanak-kanak pertengahan
dibandingkan dengan usia yang lebih muda; anak usia 8-12 tahun sangatlah mudah
terpengaruh. Di antara 427 dewasa awal dengan kebiasaan menonton yang telah
dipelajari sejak mereka berusia 8 tahun, prediktor agresivitas terbaik pada
usia 19 tahun (baik pria maupun wanita)adalah tingkat kekerasan dalam
pertunjukan yang mereka tonton saat mereka masih kecil.
Agresivitas dapat
ditekan dengan mengurangi penggunaan televisi. Dalam sebuah intervensi, anak
tingkat ketiga dan keempat yang menerima kurikulum 6 bulanan yang bertujuan untuk
meningkatkan motivasi mereka untuk memonitor dan mengurangi jumlah jam yang
mereka habiskan di depan televisi, video tape, dan video games, menunjukkan
penurunan signifikan dalam agresi tingkat teman sebaya, dibandingkan dengan
kelompok kontrol yang tdak berpartisipasi dalam program tersebut.
E. Intimidasi
dan Korban
Intimidasi adalah
agresi yang secara sengaja dan terus-menerus diarahkan kepada target tertentu
(korban) biasanya seseorang yang lemah dan gampang dipengaruhi, dan tidak dapat
membela diri. Bullies adalah perbuatan yang mengintimidasi. Bullies pria
cenderung menggunakan kekerasan (overt agression) dan memilih anak laki-laki
maupun perempuan sebagai korbannya. Sedangkan perempuan mungkin menggunakan
cara verbal atau fisik (relational agression) dan lebih cenderung memiliki
relasi yang buruk dengan teman sebaya, simtom depresi, atau perilaku
antisosial. Anak yang mungkin latar belakang keluarganya yang kurang mendukung,
dan sangat sensitif terhadap relational agression cenderung berulang kali menjadi
korban.
Pola bullying dan
menjadi korban mungkin sudah mulai terbentuk pada masa TK. Ketika bentuk
kelompok bersifat sementara, anak-anak melalui agresi langsung kepada berbagai
target. Para agresor segera mengetahui anak mana yang mudah “dikerjai” dan
memfokuskan agresi mereka kepada anak-anak tersebut.
Masa kanak-kanak
pertengahan merupakan waktu puncak bullying. Para pelaku cenderung memiliki
peringkat yang buruk dan merokok serta minum minuman keras. Korbannya cenderung
menjadi panik dan tunduk dan mudah menangis., atau bisa menjadi argumentatif
atau provokatif. Mereka cenderung sendiri dan sulit untuk bergaul. Mereka
cenderung memiliki harga diri yang rendah, walaupun tidak jelas apakah harga
diri yang rendah menjadikan diri mereka sebagai koran dari aksi bullying.
Korban laki-laki cenderung memiliki fisik yang lemah. Anak yang menjadi sasaran
bullies sering kali memiliki sedikit teman dan berasal dari lingkungan keluarga
yang kasar dan keras dan selanjutnya membiarkan mereka mendapatkan hukuman atau
penolakan. Memilik teman akan menghadirkan sosok proteksi terhadap pola ini.
Korban bullying mengembangkan masalah perilaku seperti hiperaktivitas dan
overpenden, dan mereka bisa menjadi lebih agresif.
Bullying dapat
dihentikan atau dicegah. Hal ini dilakukan dengan menciptakan atmosfer yang
otoritatif dengan kehangatan, ketertarikan, dan keterlibatan yang dipadu dengan
hukuman non-fisik dengan batasan yang jelas dan konsisten. Supervisi dan
monitoring yang lebih baik pada saat istirahat makan, aturan kelas tentang
bullying, dan percakapan serius dengan para pelaku, korban, dan orangtua, yang
merupakan bagian dari program ini.
2.4 Kesehatan
Mental
Terminologi
kesehatan mental sering sekali disalahgunakan karena biasanya merujuk kepada
kesehatan emosional. Sama seperti sebagian anak memiliki ketidaknormalan fisik
atau mental, sebagian anak juga tidak berkembang secara normal dalam masalah
emosional.
A. Gangguan Emosional Umum
1. Disruptive Behavior
Disorder
Ledakan
kemarahan dan penentangan, argumentatif, sikap bermusuhan, perilaku mengacuhkan
yang disengaja atau sesuatu yang umum terjadi pada usia 4 sampai 5 tahun.
Biasanya menghilang pada masa kanak-kanak pertengahan. Apabila pola perilaku
terus berlangsung hingga usia 8 tahun, anak-anak (biasa anak laki-laki)
didiagnosa mengidap oppositional defiant disorder atau disebut dengan pola perilaku
yang terus berlangsung sampai masa kanak-kanak pertengahan, ditandai dengan
negativitas. Pola penentangan, ketidakpatuhan, dan sikap bermusuhan terhadap
figur otoritatif orang dewasa. Anak yang mengidap OOD akan sering berkelahi,
bertengkar, marah, merampas barang-barang, menyalahkan orang lain, pemarah dan
pembenci, dan biasanya menguji batas kesabaran orang dewasa secara konstan.
Sebagian dari anak yang
mengidap OOD bergerak ke pola agresif berkesinambungan dengan berulang, tindakan
antisosial seperti membolos sekolah, kebiasaan berbohong, berkelahi, dan
menggunakan senjata.Semua ini disebut sebagai Conduct disorder (gangguan perilaku).
2. Fobia Sekolah dan
Gangguan Kecemasan Lain
Anak
yang mengidap fobia sekolah memiliki rasa takut yang tidak realistis untuk
pergi sekolah. Sebagian anak memiliki alasan yang realistis untuk menghindari
masuk sekolah, seperti : guru yang sarkastis, tugas yang berlebihan, atau bisa
juga bullying dilingkungan sekolahnya. Dalam kasus seperti itu lingkungan yang
harus dirubah, bukan sang anak.
Fobia sekolah merupakan
sebuah tipe dari separation anxiety disorder yaitu kondisi yang mengandung
kecemasan yang berlebihan dalam jangka waktu yang dekat. Berkaitan dengan
perpisahan dengan rumah atau dari orang yang sangat dekat dengan si anak.
Separation anxiety disorder menyerang sekitar 4% dari anak-anak dan remaja awal
dan mungkin terus berlangsung sepanjang masa sekolah. Anak-anak ini biasa
datang dari keluarga dengan ikatan yang sangat kuat. Binatang peliharaan yang
mati bisa jadi penyebab pengembangan gangguan tersebut. Banyak anak dengan
separation anxiety disorder juga menunjukan simtom depresi; rasa sedih, apati,
dan sulit berkonsentrasi.
Anak dengan fobia
sekolah cenderung merupakan siswa yang baik. Mereka cenderung takut dan segan
jauh dari rumah, tetapi membantah dan keras kepala serta menuntut terhadap
orang tuanya. Penanganan terpenting adalah kembali masuk sekolah segera mungkin
dan secara gradual.
Fobia sekolah bisa juga
merupakan bentuk fobia sosial, karena ketakutan yang luar biasa atau
menghindari situasi sosial. Anak dengan fobia sosial mungkin begitu ketakutan
akan penghinaan sehingga diminta untuk bersosialisasi disekolah muka mereka
akan merah , bereringat bahan berdebar-debar. Fobia sosial kemungkinan faktor
genetik. Fobia terjadi karena adanya pengalaman traumatis .
Generalized
anxiety disorder adalah kecemasan yang tidak fokus
kepada satu target tertentu. Contohnya seperti sekolah atau relasi sosial. anak
yang terkena gangguan ini cenderung menjadi perfeksionis, konformis, dan
peragu. Yang jarang terjadi adalah obsessive-compulsive
disorder adalah para penderitanya terobsesi oleh pemikiran berulang yang
mengganggu, gambaran, atau impuls dan sering kali menunjukkan perilaku yang
kompulsif seperti mencuci tangan berulang kali, sebagai usahanya untuk lepas
dari obsesi ini.
3.
Depresi
masa kana-kanak
Gangguan perasaan yang
ditandai dengan simtom seperti terus-menerus memiliki perasaan tidak memiliki
teman, ketidakmampuan untuk gembira atau berkonsentrasi, kelelahan, aktivitas
atau kelesuan ekstrem, menangis, masalah tidur, dll. Contohnya : “Tidak seorang
pun menyukai saya” merupakan pengaduan yang biasa ditemukan pada anak usia
sekolah, yang cenderung sadar-populeritas. Akan tetapi perasaan tidak berteman yang berlangsung terus-menerus
bisa jadi merupakan salah satu tanda depresi masa kanak-kanak, gangguan
perasaan yang melampaui rasa sedih normal dan temporer.
B. Teknik
Penanganan
Penanganan psikologi
bagi mereka yang terganggu emosinya dapat bervariasi. Mencakup psikoterapi
individual, terapi keluarga, terapi perilaku, terapi permainan, terapi seni,
dan terapi obat.
a. Psikoterapi individual
Terapis
menemui sang anak satu demi satu untuk membantu anak mendapatkan wawasan akan
kepribadian dan relasinya serta menginterpretasikan perasaan dan perilaku.
Penanganan orang tua, bahkan walaupun anak tidak menunjukkan sinyal gangguan.
b.
Terapi
keluarga
Terapis
bertemu dengan keluarga secara utuh mengamati bagaimana para anggotanya saling
berinteraksi, dan menunjukkan pola fungsi keluarga yang menghasilkan
pertumbuhan dan yang menghasilkan hambatan. Terapi dapat membantu rapi yang
menggunakan prinsip teori pembelajaran untuk menghilangkan perilaku yang tidak
dikehendaki(misalnya, ledakan kemarahan) atau untuk mengembangkan perilaku yang
diharapkanorang tua menghadapi masalah merek dan mulai memecahkannya.
c. Terapi
perilaku atau modifikasi perilaku
Merupakan
bentuk psikoterapi yang menggunakan prinsip teori pembelajaran untuk
menghilangkan perilaku yang tidak dikehendaki(misalnya, ledakan kemarahan) atau
untuk mengembangkan perilaku yang diharapkanorang tua menghadapi masalah merek
dan mulai memecahkannya. Analisis statistik banyak studi menemukan bahwa,
secara umum, psikoterapi efektif bagi anak dan remaja, terutama bagi remaja
wanita. Terapi perilaku lebih efektif ketimbang metode nonbehavioral.
d. Terapi
bermain
Dimana
si anak bermain bebas dengan terapis, yang terkadang melontarkan komentar,
pertanyaan, atau memberikan saran terbukti efektif.
e.
Terapi seni
Dapat
membantu mereka mendeskripsikan atau mengekspresikan apa yang mengganggu mereka
tanpa harus menuangkannya dalam bentuk tulisan. Dalam terapi keluarga,
mengobservasi bagaimana keluarga merencankan, mencetuskan, dan kemudian
mendiskusikan proyek seni dapat mengungkapkan pola interkasi keluarga.
f.
Terapi obat
Untuk
menangani gangguan emosional meningkat pesat sepanjang 1990-an, kerap kali
dikombinasikan dengan satu atau lebih bentuk psikoterapi. Sayangnya, terdapat
ketidakcukupan riset akan jangka panjang dan keselamatan bagi anak dan remaja.
Dua pengecualian adalah penggunaan stimulan seperti methylphenidate (Ritalin) untuk menangani ADHD dan penggunaan
serotonin selective reuptake inhibitors (SSRIs)
untuk menangani obsessive-compulsive, depresive, dan anxiety disorder.
C. Stres dan
Kegembiraan: Faktor Pelindung
Stres
adalah respons terhadap tuntutan fisik atau psikologis seseorang. Peristiwa
yang menekan, atau stressor, merupakan bagian dari masa kanak-kanak, dan
sebagian besar anak kecil belajar untuk menghadapinya. Akan tetapi, stress yang
berlebihan dapat mengarah kepada masalah psikologis.
1.
Tekanan
kehidupan modern
Psikolog
anak, David Elkind(1981,1984,1986,1997) menyebut anak saat ini dengan “hurried
child” (anak yang tergesa-gesa). Beliau mengingatkan bahwa tekanan kehidupan
modern memaksa anak untuk tumbuh terlalu cepat dan membuat masa kanak-kanak
mereka terlalu penuh dengan tekanan. Anak-anak menerima terlalu banyak masalah
orang dewasa dari televisi dan dalam kehidupan nyata sebelum mereka dapat
menguasai masalah masa kanak-kanak. Padahal anak-anak bukan orang dewasa kecil.
Mereka merasakan dan berpikir layaknya anak-anak, dan mereka membutuhkan
tahun-tahun masa kanak-kanak untuk tumbuh dengan sehat. Anak yang tumbuh
dikelilingi oleh kekerasan sering kali mengalami kesulitan berkonsentrasi dan
tidur. Sebagian dari mereka menjadi agresif, dan sebagian yang lain menerima
brutalis tanpa bertanya. Anak dengan multirisiko mereka yang hidup dalam
komunitas penuh kekerasan, yang msikin, dan yang menerima pengasuhan,
pendidikan, dan pelayanan kesehatan yang tidak layak adalah yang paling
cenderung menderita kerusakan pertumbuhan permanen(Rutter, 1987). Program
berbasis sekolah yang didesain untuk menghentikan perilaku kekerasan dengan
mempromosikan kompetensi sosial memiliki tingkat keberhasilan moderat di AS.
Salah satu dari program seperti itu, Providing Alternative Thinking
Strategis(PATH). Perkembangan emosional dan kognitif dipandu melewati pelajaran
bertahap yang mencakup instruksi, lembar kerja, diskusi, permainan perandan
modeling, serta dikuatkan oleh orangtua dan teman sebaya.
2.
Berhadapan
dengan stres: Anak yang tangguh
Mereka
yang dapat bertahan dari situasi yang dapat menghancurkan yang lain. Mereka
hanya melakukan penyesuaian, meski dalam situasi yang memusuhinya, untuk
memegang sistem dan sumber daya dasar yang menghasilkan perkembangan positif
dalam diri anak yang normal.
Dua
faktor protektif paling penting yang
tampaknya membantu anak-anak dan remaja mengatasi stres dan memberikan
kontribusi pada sikap tabah adalah hubungan keluarga yang baik dan pelaksanaan
fungsi kognitif.. anak yang tabah cenderung memiliki relasi yang baik dan
ikatan yang kuat dengan paling tidak salah satu orangtua yang mendukung
dirinya. Anak yang tabah cenderung memiliki IQ yang tinggi dan pemecah masalah
yang baik. Mereka dapat menarik perhatian para guru yang dapat bertindak
sebagai pemandu, orang kepercayaan, atau mentor.
·
Kepribadian
anak. Anak yang tangguh dapat
beradaptasi,bersahabat,bermuka manis, independen, dan sensitif terhadap orang
lain.
·
Risiko
yang terkurangi. Anak yang telah menerima salah satu
faktor yang amat berkaitan dengan gangguan psikiatrik (misalnya, perselisihan
orangtua, status sosial yang rendah, ibu yang terganggu kejiwaannya, ayah yang
kriminal, dan mengalami hidup di panti asuhan atau rumah singgah)
·
Compenating
experience. Lingkungan sekolah yang mendukung atau
mengalami kesuksesan pada masa studi, dalam olahraga, musik, atau dengan anak
atau orang dewasa lain dapat membantu menambal kehidupan rumah yang destruktif.
Di masa dewasa, perkawinan yang baik dapat menggantikan relasi yang buruk di
masa awal kehidupan.
Secara
umum, anak yang berasal dari lingkungan yang tidak menyenangkan memiliki lebih
banyak masalah dibandingkan anak yang berasal dari lingkungan yang
menyenangkan. Sebagian anak yang tampaknya tangguh bisa jadi menderita tekanan
internal yang mungkin memiliki konsekuensi jangka panjang. Yang masih membuat
gembira dari temuan ini adalah pengalaman negatif masa kanak-kanak tidak selalu
menentukan arah kehidupan seseorang dan banyak anak-anak yang memiliki kekuatan
yang dapat memandunya melewati jalur yang sulit. Masa remaja, juga merupakan masa yang penuh tekanan dan risiko
lebih tinggi dibandingkan masa kanak-kanak pertengahan. Akan tetapi para remaja
mengembangkan ketrampilan dan kompetensi untuk menghadapi tantangan yang mereka
hadapi.
3.1 Kesimpulan
Pertumbuhan kognitif anak pada masa
pertengahan memampukan anak mengontol emosi. Dalam pandangan Neo-Piagetian anak
pertengahan masuk dalam sistem
representational yang terintegrasi dalam pemikiran luas dan berimbang.
Keluarga merupakan
aspek yang paling penting dalam pembentukan emosi dan harga diri seorang anak.
Dalam pandangan ini , keluarga merupakan sekolah utama.
Pada masa pertengahan,
orang tua harus cenderung mengawasi anak untuk regulasi yang lebih baik. Orang
tua harus memperhatikan proses penyelesaian konflik pada anak dalam masa
pertengahan.Efek orang tua yang bekerja, kemiskinan, struktur dalam keluarga
tentunya mempengaruhi perkembangan emosional anak.Tidak hanya keluarga,
kelompok teman sebaya juga lingkungan menjadi faktor penyebab emosional seorang
anak dalam masa pertengahan.
Jika dalam kondisi ini anak tidak mendapat
perhatian penuh, tentunya kesehatan mental anak dapat terganggu. Beberapa
gangguan yang dapat terjadi yaitu ledakan kemarahan, fobia bahkan depresi.
Apabila hal ini telah terjadi maka penanganan yang seharusnya dilakukan yaitu
terapi yang sesuai.
No comments :
Post a Comment