Friday, June 13, 2014

Psikososial kanak-kanak pada masa Middle Childhood (Psikologi Perkembangan I)


2.1  Diri yang Berkembang
Dalam pertumbuhan kognitif yang terjadi pada masa anak-anak pertengahan memampukan anak mengembangkan konsep diri yang lebih kompleks dan tumbuh dalam pemahaman emosional dan kotrol.

A.    Representational System: Pandangan Neo-Piagetian
Pada masa kanak-kanak pertengahan (sekitar 7-8 tahun) penilaian tentang diri menjadi lebih realistis, berimbang, komprehensif dan lebih terekspresi secara sadar (Harter,1996,1998). Pada saat ini anak masuk dalam tahap perkembangan kognitif ketiga yaitu sistem representasional. Representational System yaitu tahap ketiga dalam istilah Neo-Piagetian perkembangan definisi diri dicirikan dengan keluasan, keseimbangan, serta integrasi dan penilaian berbagai aspek diri.
Dalam sebuah contoh diberitahukan bahwa seorang anak mengidentifikasi dirinya bahwa ia pintar dalam pelajaran kesenian, sementara “bodoh” dalam pelajaran algoritma. Deskripsi anak tersebut menunjukkan bahwa dia dapat fokus pada satu dimensi dari dirinya sendiri.

B.     Harga Diri
Merujuk pada Erikson(1982), faktor penentu harga diri adalah pandangan anak akan kemampuan kerja poduktif. Persoalan yang diselesaikan pada masa kanak kanak tengah adalah industry vs inferiority. Pada tahap ini keterampilan produktif diperlukan atau mereka akan menghadapi perasaan rendah diri.
Pandangan berbeda tentang harga diri bersumber dari riset Susan Harter. Harter (1955a) meminta anak usia 8-12 tahun menilai penampilan, perilaku, prestasi dan penerimaan mereka oleh orang lain.
Kontribusi utama harga diri yaitu dukungan sosial--pertama-tama dari orang tua dan teman sekelas, kemudian dari teman dan guru. Sebagai contoh, Judey menganggap olahraga adalah sesuatu yang penting meskipun dia bukan atletik, dia akan kehilangna harga diri, tidak peduli berapa banyak pujian yang ia terima.
Anak yang menarik diri dari sosial, memiliki kecenderungan lebih besar pada perhatian mereka dalam situasi sosial. Anak dengan harga diri yang lebih tinggi cenderung menisbahkan kegagalan pada faktor di luar diri mereka.

C. Pertumbuhan Emosional
Ketika usia bertambah,mereka lebih peka terhadap perasaan sendiri dan orang lain. Pada usia 7-8 tahun rasa bangga dan rasa malu tegantung pada kesadaran mereka akan implikasi tindakan. Umumnya ungkapan emosional pada masa kanak-kanak merupakan ungkapan yang menyenangkan. Anak tertawa genik atau tertawa terbahak-bahak, menggeliat-menggeliat, mengejangkan tubuh atau berguling di lantai dan pada umumnya menunjukkan pelepasan dorongan yang tertahan. Tidak semua emosi pada usia ini menyenangkan. Banyak ledakan amarah terjadi dan anak menderita kekhawatiran dan perasaan kecewa. Anak perempuan sering mencurahkan air mata atau mengungkapkan amarah seperti perilaku pada masa prasekolah; anak laki-laki lebih banyak mengungkapkan kekesalan atau kekhawatirannya dengan cemberut dan merajukk.Ketika si anak mendekati masa remaja awal, intoleransi orang tua terhadap emosi negatif dapat mempertinggi konfliks orang tua dan anak. (Eisenberg, Fabes et al., 1999)
Dengan mengekang ungkapan emosi eksternal anak menjadi gelisah, tegan dan mudah tersinggung oleh masalah yang sangat kecil sekalipun. Anak dikatakan sedang mengalami suasana hati yang buruk. Karena keadaan emosi yang tidak tersalurkan sering kali anak dengan cara coba-coba meredakan keadaan ini dengan sibuk bermain, dengan tertawa terbahak-bahak bahkan dengan menangis. Cara meredakan emosi yang tidak tersalurkan ini ditemukan, yang disebut katarsis emosional. Dengan demikian, sebelum masa kanak-kanak berakhir sebagaian besar anak telah menemukan katarsis emosional yang memenuhi kebutuhan mereka dan membantu mereka mengatasi pengendalian emosi seperti yang diharapkan oleh kelompok sosial.
 
D.    Perubahan Kepribadian
Dengan meluasnya cakrawala sosial pada saat anak masuk sekolah, faktor-faktor baru mulai mempengaruhi perkembangan kepribadiannya. Akibatnya, anak harus sering kali memperbaiki konsep diri. Karena sampai sekarang anak memandang dirinya sendiri hampir sepenuhnya melalui pandangan orang tua tidaklah mengherankan kalau konsep diri anak berat sebelah. Sekarang anak melihat dirinya seperti pandangan guru, teman sekelas dan para tetangga terhadap dirinya. Bahkan orang tua sekarang memberikan reaksi yang berbeda dan reaksi itu membantu anak memecahkan dasar konsep dirinya.

·         Faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri
Banyak faktor yang mempengaruhi konsep diri :
1.      Hubungan keluarga.
2.      Lingkungan sosial.
3.      Posisi anak dalam keluarga ( anak tunggal, anak sulung, anak bungsu ).
4.      Pengaruh kelompok minoritas.
Faktor diatas secara langsung dan tidak langsung berhubungan dengan kondisi lingkungan yang baru, sehingga banyak faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi konsep diri anak tersebut.
2.2  Anak dalam Keluarga
Anak-anak usia sekolah menghabiskan lebih banyak waktu mereka jauh dari rumah dibandingkan ketika mereka lebih muda dan menjadi kurang dekat dengan pasangan orang tua. Dengan makin banyaknya orang tua yang sama-sama mencari nafkah, keluarga berorang tua tunggal, penekanan yang lebih besar kepada pendidikan, kehidupan keluarga yang semakin sempit, telah membuat anak-anak menghabiskan lebih banyak waktu mereka di sekolah atau dalam penitipan anak, dan dalam aktifitas terorganisir ketimbang satu generasi sebelumnya. Mereka memiliki lebih sedikit waktu luang untuk permainan bebas, aktivitas luar ruang, dan makan malam keluarga yang menyenangkan. Banyak waktu yang dihabiskan bersama oleh orang tua-anak berorientasi tugas seperti berbelanja, mempersiapkan makan, membersihkan rumah, dan melakukan pekerjaan rumah. Akan tetapi, rumah dan orang-orang yang tinggal di dalamnya tetap menjadi bagian penting dari kehidupan anak.
Unutk  memahami anak dalam keluarga kita harus melihat lingkungan keluarga tersebut – atmosfer dan struktur, atau komposisinya. Pada gilirannya hal ini dipengaruhi oleh apa yang terjadi di belakang tembok rumah. Sebagaimana yang di deskirpsikan oleh teori bioekologis Bronfenbrenner, lapisan pengaruh tambahan – termasuk pekerjaan orang tua dan status sosioekonomik serta tren sosial seperti urbanisasi, perubahan dalam ukuran keluarga, perceraian dan perkawinan kembali – membatu membentuk lingkungan rumah dan setelah itu, perkembangan anak.
Dibalik berbagai pengaruh ini adalah pengalaman dan nilai cultural yang memengaruhi kehidupan dan peran anggota keluarga. Tradisi ini mencakup hidup berdampingan atau bersama anak keluarga, seringnya kontak dengan saudara, perasaan yang kuat akan kewajiban keluarga, kesediaan untuk menampung saudara ke dalam rumah tangga, dan sistem bantuan mutual. Tujuan penting pengasuhan mencakup mengajari anak bagaimana menghadapi diskriminasi rasialisme dan mengikis kebanggaan etnis.

A.    Atmosfer Keluarga
Pengaruh paling penting lingkungan keluarga terhadap perkembangan anak berasal dari atmosfer yang ada dalam keluarga tersebut. Apakah atmosfer di dalamnya saling mendukung dan menyayangi, atau dipenuhi konflik? Apakah keluarga tersebut memiliki uang yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar? Sering kali dua sisi atmosfer keluarga ini saling berkaitan satu dengan yang lain.
Selama masa kanak-kanak, control prilaku secara bertahap bera;ih dari orangtua ke anak. Masa kanak-kanak tengah membawa tahap transisional dan coregulation, di mana orangtua dan anak membagi kekuasaan. Orangtua memakai pengawasan, tetapi anak menikmati pengaturan diri dari waktu ke waktu (Maccoby, 1984).Peralihan ke coregulation memengauhi cara orangtua menengani disiplin(Maccoby, 1984; Roberts, Block, dan Block, 1984). Orang tua anak-anak usia sekolah lebih cenderung menggunakan teknik induktif. Cara orang tua dan anak menyelesaikan konflik mungkin lebih penting daripada hasil yang spesifik, jika konstruktif, maka konflik keluarga bisa membantu anak melihat kebutuhan akan aturan dan standart. Mereka juga mempelajari bentuk persoalan yang pantas diperdebatkan dan strategi apa yang efektif (A. R. Eisenberg, 1996).

1.      Isu Pengasuhan: Koregulasi dan Disiplin
Ketika hidup seorang anak berubah, begitu pula berbagai isu antara dirinya dan orang tuanya, dan cara berbagai isu tersebut dipecahkan. Pada masa kanak-kanak, control perilaku bergeser secara gradual dari orang tua ke anak.
Masa kanak-kanak pertengahan adalah tahap transisional koregulasi, dimana orang tua dan anak berbagi kekuasaan: orang tua mengawasi, akan tetapi si anak yang melaksanakan momen demi momen regulasi diri. Anak-anak lebih bersedia mengikuti keinginan orang tua apabila mereka menyadari bahwa orang tuanya adil dan memerhatikan kesejahteraan anak dan mereka(orang tua) mungkin mengetahui lebih baik karena pengalaman. Juga akan membantu apabila orang tua mencoba untuk mengikuti penilaian matang si anak dan hanya mengambil posisi tegas pada isu-isu penting.
Cara orang tua dan anak menyelesaikan konflik mungkin lebih penting ketimbang hasilnya, apabila konflik keluarga bersifat konstruktif, maka hal tersebut dapat membantu anak melihat kebutuhan teradap peraturan dan standar perilaku. Mereka juga belajar isu apa yang layak untuk diperdebatkan dan strategi apa yang dapat menjadi efektif.
Ketika anak mulai memasuki praremaja, dan keras, kualitas pemecahan masalah dan negosiasi keluarga menjadi memburuk. Antara usia 9 dan 11 tahun, partisipasi anak menjadi lebih negative, terutama pada topic diskusi yang dipilih oleh orang tua. Hal tersebut menjadikan topic yang dibahas bukan merupakan sesuatu yang penting, isu mendasarnya justru “siapa yang bertangung jawab”.
Pergeseran ke arah koregulasi memengaruhi cara orang tua menegakkan disiplin. Orang tua anak usia sekolah lebih cenderung menggunakan teknik induktif yang mengandung penalaran. Sebagai contoh, ayah Jared, 8 tahun, menunjukkan bagaimana tindakannya memengaruhi orang lain, “memukul Jermaine menyakitinya dan membuat perasaannya buruk. “dalam situasi lain, orang tua Jared dapat membandingkan dengan harga dirinya sendiri (“Apa yang terjadi dengan anak baik yang ada di sana kemarin?”), humor (“jika kamu keluar satu hari lagi sebelum mandi, maka kami akan mengetahuinya jika kamu pulang dengan lalat mengerubungimu”), nilai moral (“anak laki-laki yang kuat dan besar sepertimu tidak seharusnya duduk dan membiarkan orang yang sudah berusia lanjut berdiri”), atau apresiasi (“Apakah kamu tidak senang jika ayahmu memerhatikanmu dengan mengatakan kamu untuk mengenakan sepatu bot sehingga kamu tidak kedinginan?”). terlepas dari semua itu, orang tua Jared membiarkannya mengetahui konsekuensi dari perbuatannya (“Tidak perduli kamu ketinggalan bus sekolah hari ini – kamu tidur terlalu larut tadi malam! Sekarang kamu harus berjalan kaki ke sekolah”).
2.      Efek Orangtua yang bekerja
Pada saat ini, 3 – 4 ibu anak usia sekolah A.S dan pada wanita Kanada berusia 25-34 tahun bekerja. Dengan lebih dari setengah ibu baru yang bekerja setahun setelah melahirakan, banyak anak yang tidak mengetahui kapan waktunya orangtua mereka tidak bekerja untuk mendapatkan bayaran.
            Sebagian besar studi terhadap pengaruh orangtua yang bekerja terhadap kesejahteraan anak difokuskan kepada ibu yang bekerja. Pengaruh seorang ibu bekerja tergantung kepada banyak faktor, termasuk usia, jenis kelamin, tempramen, dan kepribadian anak. Faktor lainnya adalah apakah hanya ada satu orang tua dalam rumah tangga tersebut. Orang tua tunggal seperti ibunda Marian Anderson sering kali harus bekerja. Bagaimana pekerjaannya mempengaruhi si anak mungkin tergantung kepada seberapa banyak waktu dan energi yang dia sisakan untuk mereka dan model peran apa yang dia hadirkan untuk meraka yang dalam kasus Annie Anderson jelas merupakan hal yang positif.
            Semakin puas seorang ibu dengan status pekerjaannya, semakin efektif ia sebagai orang tua. Anak usia sekolah dari ibu yang bekerja cenderung hidup dalam rumah yang lebih terstruktur dibandingkan anak dengan ibu yang bekerja sebagai ibu rumah tangga, dengan peran yang jelas memberikan tanggung jawab rumah tangga yang lebih besar. Mereka juga didorong untuk menjadi lebih independen, dan mereka memiliki sikap yang elagitarian terhadap peran gender.
            Bagaimana peran orang tua dapat memengaruhi prestasi sekolah? Baik anak laki-laki maupun perempuan dari keluarga kelas bawah tampaknya bisa mendapatkan keunggulan akademis yang lebih banyak dari lingkungan yang lebih baik yang disediakan oleh ibu bekerja. Walaupun demikian , anak laki-laki dari seorang ibu yang bekerja dalam keluarga kelas menengah cenderung berprestasi lebih rendah di sekolah dibandingkan dengan yang memiliki ibu sebagai ibu rumah tangga. Perbedaan gender dalam keluarga kelas menengah ini mungkin berkaitan dengan kebutuhan  lebih besar anak laki-laki terhadap  bimbingan.
            Sebagian anak dari ibu yang bekerja diawasi oleh ayah mereka, kakek keluarga lain atau pengasuh anak setelah sekolah. Sebagian yang lain pergi ke program yang lebih terstruktur, baik di sekolah maupun dalam setting penitipan anak. Sebagaimana penitipan anak prasekolah, program pendidikan anak pasca sekolah yang baik memiliki perserta yag relatif rendah, rasio anak staf pengajar yang rendah, dan staf pengajar yang terdidik dengan baik. Anak-anak, terutama anak laki-laki, dalam program lepas sekolah yang terorganisir ditandai dengan pemogrograman fleksibel dan iklim emosional positif, cenderung menyesuaikan diri dengan lebih baik pada tingkat pertama.
            8% dari anak usia 8-10 tahun dan 23% anak usia 11 dan 12 tahun dalam sampel nasional dari 1.500 anak, biasanya merawat diri mereka sendiri di rumah tanpa pengawasan orang dewasa. Akan tetapi, tiap anak hanya menghabiskan satu jam sehari sendirian. Pengaturan ini hanya disarankan unutuk anak lebih tua yang dewasa, bertanggung jawab, cerdik dan mengetahui cara meminta pertolongan dalam kondisi darurat, dan apabila orangtua tetap berhubungan melalui telepon.

3.      Kemiskinan dan Pengasuhan
Kemiskinan dapat membahayakan perkembangan anak melalui pengaruhnya terhadap kondisi emosional orang tua dan praktik pengasuhan anak dan pada lingkungan rumah yang mereka ciptakan. Analisis ekologis Vonnie McLoyd terhadap efek dari kemiskinan menurut jalur yang mengarah kepada kesulitan psikologis orang dewasa, yang akan memengaruhi praktik membesarkan anak, dan akhirnya pada masalah emosional, prilaku dan edukasional anak. Orangtua yang hidup dalam rumah kumuh, yang kehilangan pekerjaan, yang susah cari makan, dan yang merasa tidak dapat mengontrol kehidupan mereka cenderung menjadi menjadi cemas, tertekan, dan gampang marah. Mereka menjadi kurang mengasihi dan kurang responsif terhadap anak mereka. Mereka mungkin mendisiplinkan secara tidak konstan, kasar, dan berlebihan. Mereka cenderung mengabaikan prilaku yang baik dan hanya memerhatikan prilaku yang salah. Dampaknya sang anak akan cenderung tertekan, kesulitan bermain bersama teman sebaya, kurang percaya diri, memiliki masalah perilaku, dan terlibat dalam tindakan sosial. Lingkarang kemiskinan, stress keuarga, dan masalah sosial dan emosional anak terdapat diantara keluarga kulit putih berpenghasilan rendah dan pedesaan dan juga pada etnis minoritas di perkotaan.
            Keluarga yang berada dalam kesulitan ekonomi memiliki kecenderunagn yang lebih rendah dalam mengontrol aktifitas anak- anak mereka, dan kurangnya monitor tersebut berkaitan dengan prestasi sekolah dan penyesuaian sosial yang lebih buruk. Keterlibatan ayah dengan anak mereka cenderung dikaitkan dengan kesuksesan ekonomi, ketika sang ayah merasa gagal bertugas sebagai sumber nafkah, demoralisasinya akan mengalahkan peran keayahannya dan memengaruhi secara negatif hubungannya dengan si anak. Karena itu, fathering sangat rentan terhadap tekanan ekonomi dan sosial yang memengaruhi peluang pekerjaan.
            Kemiskinan dapat melemahkan kepercayaan diri orang tua dalam kemampuan mereka mempengaruhi perkembangan anak. Kekurangan sumber keuangan juga dapat menjadikan ayah dan ibu semakin sulit mendukung pasangannya dalam pengasuhan. Pada banyak keluarga miskin, orangtua mengerjakan beberapa pekerjaan yang melelahkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Orang tua akan kurang optimis dan lebih tertekan dibandingkan dengan orang tua dalam keluarga yang lebih baik. Mereka menemukan semakin sulit bagi kedua orang tua tersebut untuk berkomunikasi dan bekerja sama dan sering kali bertengkar dalam urusan membesarkan anak.
            Kemiskinan yang berlarut larut dapat merusak. Dianatara 534 orang anak usia sekolah di Charlottescille, Virginia, mereka yang berasal dari keluarga yang terus menerus berada di bawah garis kemiskinan memiliki harga diri yang lebih rendah, kurang dapat menyesuaikan diri dengan teman sebaya, dan lebih cenderung memiliki masalah perilaku dibandingkan dengan keluarga yang hanya sesekali mengalami masa-masa sulit atau yang sama sekali tidak pernah mengalami kondisi tersebut.
            Akan tetapi, gambaran suram ini tidak baku. Orang tua yang dapat mengandalkan keluarga(sebagaimana yang dilakukan oleh orang tua Marian Anderson) atau kepada perwakilan kominutas untuk dukungan emosional dan membantu merawat anak, dan informasi yang berkaitan dengan pengasuhan anak, sering sekali dapat mengasuh anak mereka dengan efektif. Ditambah lagi, sebagaimana yang akan kita lihat, sebagian anak lebih mudah beradaptasi dibandingkan yang lain, temperamen mereka memungkinkan mereka untuk menghadapi lingkungan yang menekankan dengan lebih sukses.

B.     Struktur Keluarga
            Struktur atau susunan, keluarga di A.S telah berubah secara dramatis. Pada generasi lebih awal, sebagaian besar anak tumbuh dalam keluarga tradisional, yang terdiri dari dua orang tua biologis atau adoptif heteroseksual yang menikah. Pada saat itu, walaupun sebagian besar anak di bawah usia 18 tahun hidup tahun hidup bersama kedua orang tuanya, akan tetapi jumlah sudah menurun secara drastis. Ditambah lagi banyak keluarga dengan dua orang tua merupakan keluarga gabungan, sebagai hasil dari perceraian dan perkawinan kembali. Ada pula tipe keluarga lain dalam jumlah yang semakin meningkat seperti keluarga berorang tua tunggal, keluarga gay dan lesbian dan keluarga yang berkomandoi oleh kakek.
            Hal lain yang masih sama adalah anak-anak cenderung lebih baik dalam keluarga tradisional dengan dua orang tua ketimbang dengan keluarga berorang tua tunggal akibat perceraian atau keluarga tiri. Walaupun demikian, kuncinya bukanlah struktur itu sendiri, hubungan orang tua dengan yang lain dan kemampuan mereka untuk menciptakan atmosfer yang disukai lebih mempengaruhi penyesuaian anak ketimbang status perkawinan.
1.   Keluarga Adoptif
         Sepanjang sejarah, adopsi dapat ditemukan dalam semua kultur. Adopsi bukan hanya diperuntukkan bagi orang yang mandul., individu orang yang sudah tua, pasangan gay dan lesbian, dan orang yang telah memiliki anak biologis dapat menjadi orang tua asuh. Adopsi terjadi melalui agensi publik atau swasta atau melalui perjanjian independen antara orang tua kandung dengan orang tua pengadopsi.
Mengadopsi anak membawa tantangan tersendiri. Disamping masalah pengasuhan yang biasa muncul, orang tua adoptif harus berhadapan dengan mengadopsikan anak ke dalam keluarga, menjelaskan pengadopsian kepada si anak, membantu anak mengembangkan perasaan diri yang sehat, dan mungkin akhirnya membantu anak untuk berhunbungan dengan orang tua biologisnya.
Mengacu kepada ulasan literatur, hanya ada sedikit perbedaan dalam penyesuaian antara anak yang diadopsi dan yang tidak. Anak yang diadopsi pada masa bayi kecenderungan lebih kecil dalam memiliki masalah penyesuaian. Masalah yang muncul tampaknya mulai mengemuka sekitar masa kematangan seksual.
Secara tradisional, adopsi bersifat rahasia, dengan tidak ada kontak antara ibu kandung dan orang tua  yang mengadopsi, dan identitas ibu kandung akan tetap dirahasiakan. Dalam beberapa tahun terakhir ini, adopsi terbuka di masa setiap pihak berbagi informasi atau memiliki kontak langsung menjadi semakin umum dilakukan. Berlawanan dengan apa yang dianggap oleh sebagian orang sebagai resiko adopsi terbuka. Adopsi terbuka ialah, adopsi dimana orang tua kandung dan orang tua angkat saling mengenal identitas dan berbagi informasi atau memiliki kontak langsung.
2.   Ketika Orang Tua Bercerai
            Berbagai hal memengaruhi penyesuaian anak terhadap perceraian meliputi kematangan usia, gender, temperamen, dan penyesuaian psikologis dan sosial sebelum perceraian. Cara orang tua menangani berbagai permasalahan seperti kesepakatan perwalian dan kunjungan, keuangan, pengorganisasian kembali tugas rumah tangga, kontak dengan orang tua yang tidak termasuk dalam perwalian, menikah kembali, dan hubungan si anak dengan orang tua angkat juga membuat perbedaan.
            Kebanyakan anak dengan orang tua bercerai menyesuaikan diri dengan cukup baik, tetapi perceraian menignkatkan resiko pada masa remaja atau dewasa, seperti perilaku antisosial, kesulitan dengan figure otoritar (amato, 2003; Kelly & Emery, 2003) dan keluar dari sekolah (McLanahan & Sandefur, 1994). Menurut beberapa penelitian, sebanyak 25% anak dengan orangtua bercerai mencapai masa dewasa dengan masalah sosial, emosional, atau psikologis yang serius, dibandingkan dengan 10% anak yang orang tuanya tetap berasama (Heterington & Kelly, 2002) selain itu, perceraian dapat memiliki konsekuensi bagi generasi yang belum lahir pada saat perceraian. Anak-anak dari “anak-anak dengan orangtua bercerai” (cucu responden penelitian asli), pada akhirnya, 3 cenderung memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah dan lebih banyak ketidak harmonisan pernikahan serta ikatan yang lemah dengan orangtua mereka (Amato & Ceadle 2005).

            Bagi beberapa orang dewasa muda yang memiliki pengalaman orangtua yang bercerai, takut membuat komitmen yang mungkin berakhir dengan kekcewaan dan bermaksud melindungi kemandirian mereka (Gleen & Marquardt, 2001; Wallerstein & Corbin 1999). Bahkan ketika anak-anak dengan orangtua bercerai yang sudah dewasa tidak memiliki masalah serius, mereka bisa memiliki perasaan sedih, khawatir, atau penyesalan yang berkepanjangan, atau bahkan rasa sakit & stress, seringkali kurang terkendalinya hidup mereka (Kelly & Emery, 2003). Banyak yang bergantung pada bagaimana anak muda menyelesaikan dan menafsirkan pengalaman kepercayaan orangtua, beberapa, yang melihat kadar konflik anatara orangtua mereka yang tinggi, mampu belajar dari contoh negative dan membentuk hubungan sangat intim bagi diri mereka sendiri (Shulman, Scharf, Lunner, & Maurer, 2001).

Anak yang lebih muda lebih cemas akan perceraian, kurang memiliki persepsi yang realistis tentang apa yang menyebabkan perceraian tersebut, dan lebih sering menyalahkan diri mereka sendiri. Akan tetapi bisa beradaptasi lebih cepat dibandingkan dengan anak yang lebih tua, yang memahami apa yang terjadi dengan lebih baik. Anak usia sekolah sangat sensitive terhadap tekanan orang tua dan konflik loyalitas , seperti anak yang lebih muda, mereka mungkin takut terhadap penolakan dan pengacuhan. Anak laki-laki ditemukan lebih sulit menyesuaikan diri dibandingkan anak perempuan. Walaupun demikian perbedaan ini, menjadi kurang siginifikan dibandingkan yang pernah terpikirkan dan sangat tergantung kepada masih seberapa jauh keterlibatan seorang ayah.
Anak-anak menyesuaikan diri dengan lebih baik apabila orang tua yang mendapatkan hak perwalian menciptakan lingkungan yang stabil, terstruktur, dan nurturing dan tidak mengharapkan anak untuk mengembangkan tanggung jawab yang lebih besar dari pada sebelumnya. Merujuk kepada analisis terhadap 33 studi, anak anak yang tinggal bersama ibu yang bercerai lebih baik ketika sang ayah membayar tunjangannya, yang mungkin dapat menjadi barometer ikatan antara ayah dan anak dan juga berkaitan dengan berkurangnya perasaan dendam antara kedua mantan pasangan tersebut.
            Frekuensi kontak ayah-anak tidak sepenting kualitas hubungan ayah-anak. Anak-anak yang dekat dengan ayah meraka yang tidak lagi tinggal serumah, dan yang ayahnya menggunakan pola asuh otoritatif, cenderung lebih baik di sekolah, dan anak yang tampaknya tidak menikmati hubungan tersebut cenderung memiliki masalah prilaku. Anak-anak juga lebih baik secara akademis apabila ayah mereka yang tidak lagi serumah terlibat dalam sekolah mereka, dan apabila ibu mereka menggunakan praktik perngasuhan yang efektif serta menghadirkan aktivitas pembentuk keterampilan dirumah.


2.3   Anak dalam Kelompok Sebaya
Dalam masa prasekolah, anak bermain bersama, akan tetapi dalam masa sekolah kelompok sebaya mulai terbentuk. Kelompok terbentuk secara alamiah diantara  anak-anak yang berdekatan atau yang pergi bersama ke sekolah. Jurang usia yang terlalu lebar memunculkan perbedaan , bukan saja dalam ukuran, tetapi juga dalam ketertarikan dan level kecakapan. Biasanya didalam kelompok, anak laki-laki akan bergabung dengan anak laki-laki begitu juga dengan anak perempuan. Anak-anak dari jenis kelamin yang sama biasanya mempunyai ketertarikan yang sama, contohnya anak laki-laki ketika berkumpul akan selalu membahas sepak bola. Apabila mereka bergabung dengan anak perempuan, percakapan mereka akan tidak sesuai. Kelompok dengan jenis kelamin yang sama membantu anak untuk belajar perilaku yang sesuai dengan gendernya dan memasukkan peran gender ke dalam konsep diri mereka.

A.    Pengaruh Positif dan Negatif Relasi Teman Sebaya
Kelompok sebaya membuka perspektif baru dan membebaskan mereka untuk memnbuat penilaian independen ketika mereka mulai menjauh dari pengaruh orang tua. Mereka mulai menguji nilai yang mereka punya dengan teman sebayanya. Dengan membandingkan diri dengan anak lain yang seusia, anak-anak dapat menilai kemampuan mereka dengan realistis dan mendapatkan perasaan yang lebih jernih tentang kecakapan diri. Kolompok teman sebaya membantu anak belajar bagaimana hidup bersama di masyarakat, bagaimana menyesuaikan keinginan dan hasrat dengan yang lainnya.
Kelompok sebaya juga memiliki efek negatif. Efek tersebut biasanya terdapat dalam pergaulan teman sebaya yang penguntil, memulai penggunaan obat terlarang, dan bertingkah laku anti sosial lainnya. Anak praremaja sangat rentan terhadap tekanan untuk meniru, dan tekanan ini dapat mengubah anak menjadi seorang kriminal.
Pengaruh negatif lain kelompok sebaya adalah keenderungan untuk menguatkan prasangka, sikap untuk memusuhu “orang luar”, terutama anggota etnis atau ras tertentu. Pengalaman yang sudah diperoleh oleh anak dapat mengurangi atau menghilangkan prasangka tersebut.

B.     Popularitas
Popularitas anak mejadi lebih tinggi pada masa kanak-kanak pertengahan. Anak pada masa ini lebih banyak menghabiskan waktu dengan anak lainnya sehingga opini teman sebaya sangat memengaruhi harga dirinya. Anak sekolah yang disukai oleh teman sebaya cenderung mudah bergaul pada masa remaja. Mereka yang sulit bermain ersama teman sebaya cenderung mengembangkan masalah psikologis, keluar dari sekolah dan menjadi kriminal.
Anak yang populer biasanya mempunyai nilai kognitif yang tinggi, bagus dalam memecahkan masalah, membantu anak lain, dan menjadi asertif tanpa harus menjadi disruptoif atau agresif. Anak populer biasanya dapat dipercaya, loyal, terbuka, dan menyajikan dukungan emosional. Tampilan superiornya membuat teman sebayanya merasa nyaman dengannya. Walaupun demikian, gambaran ini tak selalu benar. Beberapa anak yang agresif dan antisosial juga termasuk anak yang populer. Hal ini menunjukkan popularitas merupakan hal yang variatif.
Anak-anak dapat menjadi kurang populer karena banyak hal. Ketika sebagian anak yang tidak populer agresif, beberaopa diantara mereka hiperaktif dan inatentif dan sebagian diri menarik diri dari pergaulan. Yang lain bertingkh memalukan dan tidak dewasa. Mereka sering tidak sensitid pada anak lain dan tidak beradaptasi dengan baik terhadap situasi baru. Beberapa diantara mereka menunjukkan ketertarikan untuk berkumpul pada kelompok dari jenis kelamin berbeda. Beberapa anak yang tidak populer telah mengira dirinya tidak disukai, dan hal ini merupakan ramalam yang terwujud dengan sendirinya.
Pengaruh popularitas juga diperngaruhi oleh keluarga. Orang tua otoritatif cenderung memiliki anak yang lebih populer dibandingkan orang tua yang otoriter. Anak dari orang tua otoriter yang menghukum dan mengancam cenderung melakukan hal yang dilakukan oleh orang tuanya kepada teman sebaya. Tingkat kepopuleran mereka jauh dari anak yang orang tuanya otoritatif.
C.    Persahabatan
Anak-anak menghabiskan sebagian waktu bebasnya dalam kelompok, akan tetapi hanya sebagian individual yang dapat membentuk persahabatan. Anak-anak mencari teman yang mirip dengan mereka; satu usia, jenis kelamin, dan kelompok etnis serta yang memiliki ketertarikan yang sama. Seorang teman adalah seseorang yang disayangi oleh si anak, yang membuatnya merasa nyaman, rela untuk melakukan berbagai ham bersama, dan yang dapat menjaga rahasia dan perasaan. Persahabatan yang paling kuat meliputi komitmen yang sama dan give-and-take mutual. Bahkan anak yang kurang pupuler bisa mendapatkan sahabat tetapi memiliki sedikit teman. Berbeda dengan anak populer yang bisa mendapatkan sahabat dan cenderung memiliki banyak teman.
Mengapa persahabatan penting? Bersama teman, anak belajar berkomunikasi dan bekerja sama. Mereka belajar tentang diri mereka yang lain. Mereka dapat saling membantu melewati transisi yang menekan. Pertengkaran yang tidak disengaja dapat membantu anak untuk menyelesaikan konflik. Persahabatan tampaknya membantu anak untuk merasa nyaman terhadap diri mereka sendiri. Penolakan teman sebaya dan ketiadaan teman pada masa kanak-kanak pertengahan dapat memiliki efek jangka panjang.
Konsep persahabatan yang dimiliki anak, dan cara mereka bertingkah laku terhadap teman, berubah seiring usia, merefleksikan pertumbuhan kognitif dan emosional mereka. Anak-anak tidak dapat menjadi, atau mendapatkan teman dalam arti yang sebenarnya sampai mereka mencapai kematangan kognifif untuk dapat mempertimbangkan pandangan dan kebutuhan sendiri. Anak perempuan pada masa kanak-kanak pertengahan lebih peduli untuk memiliki beberapa orang teman yang dapat mereka andalkan ketimbang memiliki banyak teman. Anak laki-laki cenderung memiliki lebih banyak persahabatan, tetapi kurang dekat dan kurang peduli.

D.    Agresi dan Mengganggu
Hostile agression adalah perilaku yang agresif, dan bertujuan untuk menyakiti orang lain. Menggantikan instrumental agression yaitu agresi yang bertujuan untuk mendapatkan sebuah tujuan, yang merupakan ciri khas periode prasekolah. Overt agression adalah kekuatan fisik atau ancaman verbal, semakin berkurang dibandingkan relational atau sosial agression. Para agresor cenderung tidak populer dan memiliki masalah psikologis dan sosial, walaupun belum dpat dijelaskan penyebab masalah ini adalah agresi itu sendiri atau reaksi terhadap agresi itu tersebut. Anak yang agresif cenderung mencari teman yang sama seperti mereka dan saling mendorong untuk melakukan tindakan antisosial.
Agresi dan pemrosesan Informasi Sosial. salah satu penyebab anak bertindak agresif adalah hal yang berkaitan dengan cara mereka memproses informasi sosial seperti ciri lingkungan sosial apa yang mereka perhatikan, dan bagaimana cara mereka menginterpretasikan apa yang mereka rasakan.
Instrumental agressor memandang kekuatan dan paksaan sebagai cara efektif untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Maka mereka bertindak dengan sengaja bukan karna rasa marah. Dalam terminologi pembelajaran sosial, mereka agresif karena mereka berharap mendapatkan apa yang mereka inginkan atas sikap mereka.
Anak-anak melihat kekerasan dalam jumlah yang sangat besar di televisi. Lebih dari 57%  anak usia 8-16 tahun Amerika Serikat memiliki televisi di kamar tidur mereka, dan banyak diantara mereka yang menotonnya sebelum tidur sebagai bentuk relaksasi. Anak-anak A.S dan Kanada menonton televisi antara 12-25 jam per minggu. Di A.S sekitar 6 dari 10 siaran televisi mengandung kekerasan, dan diantaranya menunjukkan alternatif terhadap kekerasan. Termasuk yang ada di saluran kabel premium mempertunjukkan kekerasan pada 85%  waktu siarnya. 39%  program televisi anak-anak di televisi Inggris mengandung kekerasan, sebagai besar berupa penembakan atau penyerangan fisik lainnya.
Riset pembelajaran sosial menyatakan bahwa anak-anak mengimitasi contoh yang difilmkan, bahkan lebih dari yang nyata (Bandura, Ross, & Ross, 1963). Pengaruh tersebut menjadi bertambah kuat apabila si anak yakin bahwa kekerasan yang ada dalam televisi tersebut nyata, mengidentifikasikan dirinya dengan karakter yang negatif, dan menonton tanpa pengawasan dari orang tua.
Ketika anak menonton kekerasan di televisi, mereka mungkin menyerap nilai yang di gambarkan dan memandang agresi sebagai perilaku yang dapat diterima. Dalam 73% adegan kekerasan, penjahat pergi tanpa dihukum; dalam 47%, korban pergi tanpa disakiti, menjelaskan bahwa kekerasan tidak memiliki konsekuensi yang tidak menyenangkan. Anak-anak yang melihat pahlawan dan penjahat yang mendapatkan apa yang mereka inginkan melalui kekerasan cenderung berkesimpulan kekerasan merupakan jalan pemecahan konflik yang efektif. Mereka menjadi kurang sensitif terhadap rasa sakit yang disebabkan oleh kekerasan tersebut. Mereka belajar untuk mengambil kekerasan begitu saja dan menjadi tidak peduli ketika melihat hal tersebut terjadi. Tentu saja beberapa orang anak lebih berpengaruh, dan lebih mudah dipengaruhi dibandingkan yang lain.
Dalam sebuah survei terhadap 2.245 anak tingkat ketiga sampai kedelapan di 11 sekolah  negeri Ohio, semakin banyak jumlah jam menonton televisi setiap harinya, terutama bagi mereka yang lebih suka menonton film action, akan semakin banyak simtom trauma seperti depresi, stres, kecemasan dan kemarahan. Anak-anak dengan masalah psikologis atau perilaku mungkin lebih banyak menonton televisi dibandingkan anak yang tidak memiliki masalah seperti itu. Dan diet televisi yang ketat bisa jadi hanya akan semakin memperburuk permasalahan tersebut. Karena itu, berlebihan menonton televisi dapat mengindikasikan adanya masalah yang mungkin membutuhkan perawatan.
Pengaruh jangka panjang kekerasan di televisi lebih besar pada masa kanak-kanak pertengahan dibandingkan dengan usia yang lebih muda; anak usia 8-12 tahun sangatlah mudah terpengaruh. Di antara 427 dewasa awal dengan kebiasaan menonton yang telah dipelajari sejak mereka berusia 8 tahun, prediktor agresivitas terbaik pada usia 19 tahun (baik pria maupun wanita)adalah tingkat kekerasan dalam pertunjukan yang mereka tonton saat mereka masih kecil.
Agresivitas dapat ditekan dengan mengurangi penggunaan televisi. Dalam sebuah intervensi, anak tingkat ketiga dan keempat yang menerima kurikulum 6 bulanan yang bertujuan untuk meningkatkan motivasi mereka untuk memonitor dan mengurangi jumlah jam yang mereka habiskan di depan televisi, video tape, dan video games, menunjukkan penurunan signifikan dalam agresi tingkat teman sebaya, dibandingkan dengan kelompok kontrol yang tdak berpartisipasi dalam program tersebut.

E.     Intimidasi dan Korban
Intimidasi adalah agresi yang secara sengaja dan terus-menerus diarahkan kepada target tertentu (korban) biasanya seseorang yang lemah dan gampang dipengaruhi, dan tidak dapat membela diri. Bullies adalah perbuatan yang mengintimidasi. Bullies pria cenderung menggunakan kekerasan (overt agression) dan memilih anak laki-laki maupun perempuan sebagai korbannya. Sedangkan perempuan mungkin menggunakan cara verbal atau fisik (relational agression) dan lebih cenderung memiliki relasi yang buruk dengan teman sebaya, simtom depresi, atau perilaku antisosial. Anak yang mungkin latar belakang keluarganya yang kurang mendukung, dan sangat sensitif terhadap relational agression cenderung berulang kali menjadi korban.
Pola bullying dan menjadi korban mungkin sudah mulai terbentuk pada masa TK. Ketika bentuk kelompok bersifat sementara, anak-anak melalui agresi langsung kepada berbagai target. Para agresor segera mengetahui anak mana yang mudah “dikerjai” dan memfokuskan agresi mereka kepada anak-anak tersebut.
Masa kanak-kanak pertengahan merupakan waktu puncak bullying. Para pelaku cenderung memiliki peringkat yang buruk dan merokok serta minum minuman keras. Korbannya cenderung menjadi panik dan tunduk dan mudah menangis., atau bisa menjadi argumentatif atau provokatif. Mereka cenderung sendiri dan sulit untuk bergaul. Mereka cenderung memiliki harga diri yang rendah, walaupun tidak jelas apakah harga diri yang rendah menjadikan diri mereka sebagai koran dari aksi bullying. Korban laki-laki cenderung memiliki fisik yang lemah. Anak yang menjadi sasaran bullies sering kali memiliki sedikit teman dan berasal dari lingkungan keluarga yang kasar dan keras dan selanjutnya membiarkan mereka mendapatkan hukuman atau penolakan. Memilik teman akan menghadirkan sosok proteksi terhadap pola ini. Korban bullying mengembangkan masalah perilaku seperti hiperaktivitas dan overpenden, dan mereka bisa menjadi lebih agresif.
Bullying dapat dihentikan atau dicegah. Hal ini dilakukan dengan menciptakan atmosfer yang otoritatif dengan kehangatan, ketertarikan, dan keterlibatan yang dipadu dengan hukuman non-fisik dengan batasan yang jelas dan konsisten. Supervisi dan monitoring yang lebih baik pada saat istirahat makan, aturan kelas tentang bullying, dan percakapan serius dengan para pelaku, korban, dan orangtua, yang merupakan bagian dari program ini.

2.4  Kesehatan Mental
Terminologi kesehatan mental sering sekali disalahgunakan karena biasanya merujuk kepada kesehatan emosional. Sama seperti sebagian anak memiliki ketidaknormalan fisik atau mental, sebagian anak juga tidak berkembang secara normal dalam masalah emosional.
A.    Gangguan  Emosional Umum
1.      Disruptive Behavior Disorder
Ledakan kemarahan dan penentangan, argumentatif, sikap bermusuhan, perilaku mengacuhkan yang disengaja atau sesuatu yang umum terjadi pada usia 4 sampai 5 tahun. Biasanya menghilang pada masa kanak-kanak pertengahan. Apabila pola perilaku terus berlangsung hingga usia 8 tahun, anak-anak (biasa anak laki-laki) didiagnosa mengidap oppositional defiant disorder atau disebut dengan pola perilaku yang terus berlangsung sampai masa kanak-kanak pertengahan, ditandai dengan negativitas. Pola penentangan, ketidakpatuhan, dan sikap bermusuhan terhadap figur otoritatif orang dewasa. Anak yang mengidap OOD akan sering berkelahi, bertengkar, marah, merampas barang-barang, menyalahkan orang lain, pemarah dan pembenci, dan biasanya menguji batas kesabaran orang dewasa secara konstan.
Sebagian dari anak yang mengidap OOD bergerak ke pola agresif berkesinambungan dengan berulang, tindakan antisosial seperti membolos sekolah, kebiasaan berbohong, berkelahi, dan menggunakan senjata.Semua ini disebut sebagai Conduct disorder (gangguan perilaku).
2.      Fobia Sekolah dan Gangguan Kecemasan Lain
Anak yang mengidap fobia sekolah memiliki rasa takut yang tidak realistis untuk pergi sekolah. Sebagian anak memiliki alasan yang realistis untuk menghindari masuk sekolah, seperti : guru yang sarkastis, tugas yang berlebihan, atau bisa juga bullying dilingkungan sekolahnya. Dalam kasus seperti itu lingkungan yang harus dirubah, bukan sang anak.
Fobia sekolah merupakan sebuah tipe dari separation anxiety disorder yaitu kondisi yang mengandung kecemasan yang berlebihan dalam jangka waktu yang dekat. Berkaitan dengan perpisahan dengan rumah atau dari orang yang sangat dekat dengan si anak. Separation anxiety disorder menyerang sekitar 4% dari anak-anak dan remaja awal dan mungkin terus berlangsung sepanjang masa sekolah. Anak-anak ini biasa datang dari keluarga dengan ikatan yang sangat kuat. Binatang peliharaan yang mati bisa jadi penyebab pengembangan gangguan tersebut. Banyak anak dengan separation anxiety disorder juga menunjukan simtom depresi; rasa sedih, apati, dan sulit berkonsentrasi.
Anak dengan fobia sekolah cenderung merupakan siswa yang baik. Mereka cenderung takut dan segan jauh dari rumah, tetapi membantah dan keras kepala serta menuntut terhadap orang tuanya. Penanganan terpenting adalah kembali masuk sekolah segera mungkin dan secara gradual.
Fobia sekolah bisa juga merupakan bentuk fobia sosial, karena ketakutan yang luar biasa atau menghindari situasi sosial. Anak dengan fobia sosial mungkin begitu ketakutan akan penghinaan sehingga diminta untuk bersosialisasi disekolah muka mereka akan merah , bereringat bahan berdebar-debar. Fobia sosial kemungkinan faktor genetik. Fobia terjadi karena adanya pengalaman traumatis .
Generalized anxiety disorder adalah kecemasan yang tidak fokus kepada satu target tertentu. Contohnya seperti sekolah atau relasi sosial. anak yang terkena gangguan ini cenderung menjadi perfeksionis, konformis, dan peragu. Yang jarang terjadi adalah obsessive-compulsive disorder adalah para penderitanya terobsesi oleh pemikiran berulang yang mengganggu, gambaran, atau impuls dan sering kali menunjukkan perilaku yang kompulsif seperti mencuci tangan berulang kali, sebagai usahanya untuk lepas dari obsesi ini.
3.      Depresi masa kana-kanak
Gangguan perasaan yang ditandai dengan simtom seperti terus-menerus memiliki perasaan tidak memiliki teman, ketidakmampuan untuk gembira atau berkonsentrasi, kelelahan, aktivitas atau kelesuan ekstrem, menangis, masalah tidur, dll. Contohnya : “Tidak seorang pun menyukai saya” merupakan pengaduan yang biasa ditemukan pada anak usia sekolah, yang cenderung sadar-populeritas. Akan tetapi perasaan  tidak berteman yang berlangsung terus-menerus bisa jadi merupakan salah satu tanda depresi masa kanak-kanak, gangguan perasaan yang melampaui rasa sedih normal dan temporer.

B.     Teknik Penanganan
Penanganan psikologi bagi mereka yang terganggu emosinya dapat bervariasi. Mencakup psikoterapi individual, terapi keluarga, terapi perilaku, terapi permainan, terapi seni, dan terapi obat.
a.       Psikoterapi individual
Terapis menemui sang anak satu demi satu untuk membantu anak mendapatkan wawasan akan kepribadian dan relasinya serta menginterpretasikan perasaan dan perilaku. Penanganan orang tua, bahkan walaupun anak tidak menunjukkan sinyal gangguan.
b.      Terapi keluarga
Terapis bertemu dengan keluarga secara utuh mengamati bagaimana para anggotanya saling berinteraksi, dan menunjukkan pola fungsi keluarga yang menghasilkan pertumbuhan dan yang menghasilkan hambatan. Terapi dapat membantu rapi yang menggunakan prinsip teori pembelajaran untuk menghilangkan perilaku yang tidak dikehendaki(misalnya, ledakan kemarahan) atau untuk mengembangkan perilaku yang diharapkanorang tua menghadapi masalah merek dan mulai memecahkannya.
c.       Terapi perilaku atau modifikasi perilaku
Merupakan bentuk psikoterapi yang menggunakan prinsip teori pembelajaran untuk menghilangkan perilaku yang tidak dikehendaki(misalnya, ledakan kemarahan) atau untuk mengembangkan perilaku yang diharapkanorang tua menghadapi masalah merek dan mulai memecahkannya. Analisis statistik banyak studi menemukan bahwa, secara umum, psikoterapi efektif bagi anak dan remaja, terutama bagi remaja wanita. Terapi perilaku lebih efektif ketimbang metode nonbehavioral.
d.      Terapi bermain
Dimana si anak bermain bebas dengan terapis, yang terkadang melontarkan komentar, pertanyaan, atau memberikan saran terbukti efektif.
e.       Terapi seni
Dapat membantu mereka mendeskripsikan atau mengekspresikan apa yang mengganggu mereka tanpa harus menuangkannya dalam bentuk tulisan. Dalam terapi keluarga, mengobservasi bagaimana keluarga merencankan, mencetuskan, dan kemudian mendiskusikan proyek seni dapat mengungkapkan pola interkasi keluarga.
f.       Terapi obat
Untuk menangani gangguan emosional meningkat pesat sepanjang 1990-an, kerap kali dikombinasikan dengan satu atau lebih bentuk psikoterapi. Sayangnya, terdapat ketidakcukupan riset akan jangka panjang dan keselamatan bagi anak dan remaja. Dua pengecualian adalah penggunaan stimulan seperti methylphenidate (Ritalin) untuk menangani ADHD dan penggunaan serotonin selective reuptake inhibitors (SSRIs) untuk menangani obsessive-compulsive, depresive, dan anxiety disorder.





C.    Stres dan Kegembiraan: Faktor Pelindung
Stres adalah respons terhadap tuntutan fisik atau psikologis seseorang. Peristiwa yang menekan, atau stressor, merupakan bagian dari masa kanak-kanak, dan sebagian besar anak kecil belajar untuk menghadapinya. Akan tetapi, stress yang berlebihan dapat mengarah kepada masalah psikologis.
1.      Tekanan kehidupan modern
Psikolog anak, David Elkind(1981,1984,1986,1997) menyebut anak saat ini dengan “hurried child” (anak yang tergesa-gesa). Beliau mengingatkan bahwa tekanan kehidupan modern memaksa anak untuk tumbuh terlalu cepat dan membuat masa kanak-kanak mereka terlalu penuh dengan tekanan. Anak-anak menerima terlalu banyak masalah orang dewasa dari televisi dan dalam kehidupan nyata sebelum mereka dapat menguasai masalah masa kanak-kanak. Padahal anak-anak bukan orang dewasa kecil. Mereka merasakan dan berpikir layaknya anak-anak, dan mereka membutuhkan tahun-tahun masa kanak-kanak untuk tumbuh dengan sehat. Anak yang tumbuh dikelilingi oleh kekerasan sering kali mengalami kesulitan berkonsentrasi dan tidur. Sebagian dari mereka menjadi agresif, dan sebagian yang lain menerima brutalis tanpa bertanya. Anak dengan multirisiko mereka yang hidup dalam komunitas penuh kekerasan, yang msikin, dan yang menerima pengasuhan, pendidikan, dan pelayanan kesehatan yang tidak layak adalah yang paling cenderung menderita kerusakan pertumbuhan permanen(Rutter, 1987). Program berbasis sekolah yang didesain untuk menghentikan perilaku kekerasan dengan mempromosikan kompetensi sosial memiliki tingkat keberhasilan moderat di AS. Salah satu dari program seperti itu, Providing Alternative Thinking Strategis(PATH). Perkembangan emosional dan kognitif dipandu melewati pelajaran bertahap yang mencakup instruksi, lembar kerja, diskusi, permainan perandan modeling, serta dikuatkan oleh orangtua dan teman sebaya.
2.      Berhadapan dengan stres: Anak yang tangguh
Mereka yang dapat bertahan dari situasi yang dapat menghancurkan yang lain. Mereka hanya melakukan penyesuaian, meski dalam situasi yang memusuhinya, untuk memegang sistem dan sumber daya dasar yang menghasilkan perkembangan positif dalam diri anak yang normal.
Dua faktor protektif paling penting yang tampaknya membantu anak-anak dan remaja mengatasi stres dan memberikan kontribusi pada sikap tabah adalah hubungan keluarga yang baik dan pelaksanaan fungsi kognitif.. anak yang tabah cenderung memiliki relasi yang baik dan ikatan yang kuat dengan paling tidak salah satu orangtua yang mendukung dirinya. Anak yang tabah cenderung memiliki IQ yang tinggi dan pemecah masalah yang baik. Mereka dapat menarik perhatian para guru yang dapat bertindak sebagai pemandu, orang kepercayaan, atau mentor.
·         Kepribadian anak. Anak yang tangguh dapat beradaptasi,bersahabat,bermuka manis, independen, dan sensitif terhadap orang lain.
·         Risiko yang terkurangi. Anak yang telah menerima salah satu faktor yang amat berkaitan dengan gangguan psikiatrik (misalnya, perselisihan orangtua, status sosial yang rendah, ibu yang terganggu kejiwaannya, ayah yang kriminal, dan mengalami hidup di panti asuhan atau rumah singgah)
·         Compenating experience. Lingkungan sekolah yang mendukung atau mengalami kesuksesan pada masa studi, dalam olahraga, musik, atau dengan anak atau orang dewasa lain dapat membantu menambal kehidupan rumah yang destruktif. Di masa dewasa, perkawinan yang baik dapat menggantikan relasi yang buruk di masa awal kehidupan.
Secara umum, anak yang berasal dari lingkungan yang tidak menyenangkan memiliki lebih banyak masalah dibandingkan anak yang berasal dari lingkungan yang menyenangkan. Sebagian anak yang tampaknya tangguh bisa jadi menderita tekanan internal yang mungkin memiliki konsekuensi jangka panjang. Yang masih membuat gembira dari temuan ini adalah pengalaman negatif masa kanak-kanak tidak selalu menentukan arah kehidupan seseorang dan banyak anak-anak yang memiliki kekuatan yang dapat memandunya melewati jalur yang sulit. Masa remaja, juga merupakan masa yang penuh tekanan dan risiko lebih tinggi dibandingkan masa kanak-kanak pertengahan. Akan tetapi para remaja mengembangkan ketrampilan dan kompetensi untuk menghadapi tantangan yang mereka hadapi.

3.1  Kesimpulan
    Pertumbuhan kognitif anak pada masa pertengahan memampukan anak mengontol emosi. Dalam pandangan Neo-Piagetian anak pertengahan masuk dalam sistem representational yang terintegrasi dalam pemikiran luas dan berimbang.
Keluarga merupakan aspek yang paling penting dalam pembentukan emosi dan harga diri seorang anak. Dalam pandangan ini , keluarga merupakan sekolah utama.
Pada masa pertengahan, orang tua harus cenderung mengawasi anak untuk regulasi yang lebih baik. Orang tua harus memperhatikan proses penyelesaian konflik pada anak dalam masa pertengahan.Efek orang tua yang bekerja, kemiskinan, struktur dalam keluarga tentunya mempengaruhi perkembangan emosional anak.Tidak hanya keluarga, kelompok teman sebaya juga lingkungan menjadi faktor penyebab emosional seorang anak dalam masa pertengahan.
     Jika dalam kondisi ini anak tidak mendapat perhatian penuh, tentunya kesehatan mental anak dapat terganggu. Beberapa gangguan yang dapat terjadi yaitu ledakan kemarahan, fobia bahkan depresi. Apabila hal ini telah terjadi maka penanganan yang seharusnya dilakukan yaitu terapi yang sesuai.

No comments :

Post a Comment